Kita butuh untuk pulang, istirahat dari
kejenuhan. Bisa jadi, di rumah akan kita temui hal yang menyenangkan untuk kembali
bersemangat esok hari. Hidup itu penuh teka-teki dan lika-liku. Kadang kita hanya
butuh terus berjalan karena berhenti berjalan tidak membawamu kemana-mana. Sebisamu saja, perlahan pun tak mengapa.
Kapan terakhir kali pulang ke rumah? Coba kuingat
dulu. Harusnya mudah saja karena kepulanganku
ke rumah dalam satu tahun merantau pasti bisa dihitung menggunakan jari. Sudah
begitu adanya sejak merantau untuk kuliah, mengejar ilmu, apalagi sekarang, menggapai cita-cita di ibu kota. Ah, tidak juga, bukan impianku
untuk tinggal di ibu kota.
Padahal, jarak rumah dan ibu kota ini juga tak
terlalu jauh. Apalagi transportasi umum di zaman sekarang semakin mempermudah
akses lintas provinsi, di pulau Jawa terutama. Sejak sekolah di bangku SMA juga
sudah dinasehati untuk lebih sering pulang ke rumah, menengok orangtua.
Setidaknya dua kali seminggu, nyatanya, malah dua minggu sekali. Sekarang lebih
jarang lagi, beberapa bulan sekali. Dulu waktu kuliah pun hanya pulang ketika libur semester, atau mendadak pulang tanpa
rencana dan berita. Hari itu terpikir untuk pulang, dan pulanglah aku sore
harinya.
Bulan September 2017, terakhir kali pulang, membawa
seorang kawan. Momen keluarga dirasa cukup tepat untuk memperkenalkan seseorang
yang di masa depan diharapkan bisa jadi bagian dari keluarga ini juga.
Perjalanan selalu menyenangkan, apalagi seorang
diri, membiarkan pikiran berjalan entah kemana-mana, merenungi sesuatu, tanpa
ada yg mengganggu (mengajak bicara). Heu,
dasar manusia introvert.
Bagian perjalanan di-skip dulu, akan ku ceritakan di bagian berikutnya.
--
Tentang kepulanganku kali ini, punya cerita yang
lain dari biasanya.
Masih di awal tahun. Sejujurnya ada rasa enggan
untuk pulang, bukan karena tak rindu orangtua atau kampung halaman. Rasanya
kalaupun pulang ke rumah dan tidak melakukan sesuatu yg penting, lebih baik aku
tetap di sini saja. Padahal rasa enggan lainnya juga disebabkan ketidakjelasan
statusku sekarang. Eh, jelas sih, jelas seorang pengangguran. Tepat sebulan yg
lalu aku resmi mengundurkan diri dari pekerjaan pertamaku dan sekarang masih
belum memiliki pekerjaan penggantinya.
Semenjak menetap di ibu kota, transportasi yg
terpilih menjadi tungganganku pulang dan pergi beralih menjadi kereta api.
Walaupun cukup meyusahkan juga. Jika sudah sampai di stasiun terdekat dari
rumah, aku masih harus menempuh jarak tertentu untuk benar-benar sampai rumah,
dan andalanque adalah ayahanda tercinta.
Ah, aku pernah sekali terharu dengan yg satu ini.
Terharu sampai menangisinya, entah ada yg sadar atau tidak. Waktu itu, aku
pulang naik kereta dengan memilih jadwal keberangkatan paling malam agar jadwal
sampai di kota tujuan cukup manusiawi untuk ayahanda tercinta menjemput putri
bungsu tersayangnya. Alasan lainnya, tentu saja jadwal kerja dan jadwal libur
di tempat kerja dengan peraturannya.
Pukul 5 dini hari, atau mungkin belum. Bapak sudah stand by di stasiun. Ya begitulah
kebiasaan beliau. Lebih memilih menunggu daripada ditunggu. Padahal waktu
tempuh rumah dan stasiun bisa memakan waktu 45 menit. Beliau setidaknya pasti
akan tiba setengah sampai satu jam sebelum waktu yg dijanjikan.
Setelah diriku ini turun kereta, berjumpa ayahanda,
mencium tangannya sambil mengucap salam, tak pake lama, langsung duduk manis di bangku penumpang sebuah motor
milik kakanda. Bapak, dengan jaket kulit, celana olahraga panjang dan syal yg
melilit leher, katanya untuk menahan suhu dingin angin jalanan. Kala itu Bapak
mengendarai sepeda motornya sedikit lebih lambat. Selain hari masih gelap,
musim penghujan dan cuaca pagi itu memang mendung.
Sudah agak lama berjalan, beliau berkata, “Banyak jalan berlubang yg gak keliatan, semalam hujan deras.” Kondisi jalan pantura waktu itu
memang masih berlubang di sana sini, apalagi kalau musim hujan.
Sungguh tak tega rasanya, di usia yg sudah kepala 5
nyaris ke angka 6. Masih saja direpotkan. Kadang hal kecil seperti ini yang
selalu jadi beban dan keengganan untuk pulang. Dulu waktu bus masih menjadi
pilihan transportasi untuk pulang, meski selalu menawarkan diri untuk menjemput
di terminal, aku lebih sering menolak karena tak mau merepotkan.
Tapi bukan kepulanganku kali ini. Aku memilih
jadwal keberangkatan kereta siang hari sehingga Bapakku ini bisa menjemputku di
malam hari. Semua tampak biasa saja. Turun kereta, berjumpa ayahanda, mencium
tangannya sambil mengucap salam, tak
pake lama, langsung duduk manis di bangku penumpang sebuah motor milik kakanda.
Motor itu melaju seperti biasa, kali ini jalanannya aman dan tak lagi
berlubang.
Sesampai di rumah, kupencet tombol bel rumah. Tak
ada tanda-tanda orang datang untuk membuka pintu. Inisiatif, kubuka saja pintu
depan rumah, ternyata tak dikunci, lol
Dua detik kemudian muncullah sesosok manusia
gempal, tak lain dan tak bukan, ibundaku tercinta hahahaha. Tersenyum menyeringai mencurigakan, tumben ia mengenakan
jilbab, baru pergi dari mana malam begini? Kucium tangannya dan ku melangkah ke
ruang tengah. Ada apa dan siapa? Kakak perempuanku sedang sibuk menyalakan
lilin di atas sebuah kue ulang tahun. DEMI APA?
Dua hari sebelum pulang, Bapak menelepon. Ia demam,
keluhnya, dan menanyakan kapan aku pulang, barang sehari atau dua hari. Karena
tak tega, ini sudah kali kedua atau mungkin ketiga beliau menanyakan hal yg
sama. Kurasa mungkin ini sudah saatnya aku berkunjung ke rumah. Hari itu juga kupesan
tiket untuk keberangkatan di hari lusa.
Sejenak kupikir ini pasti ide kakak perempuanku
yang hendak mengikuti gaya manusia
kekinian, yang merayakan hal-hal semacam ini untuk selanjutnya dipublikasikan
ke media sosial, entah untuk tujuan apa, yang biasanya salah satunya adalah
untuk menunjukkan kalau ia bahagia dan beginilah kami dan kegiatan kami.
“Ayo tiup lilinnya!”
“Mba yuyun aja yg tiup, siapa yg ulang tahun,
weeeek,” kataku menjulurkan lidah.
Ibuku kemudian bercerita sambil tersenyum-senyum.
Katanya ini ide Bapak. Beliau
entah dapet bisikan darimana, tiba-tiba pergi ke toko kue langganan (langganan
pesan paket kotak untuk acara hajatan) untuk membeli kue. Tak lupa beliau
meminta dituliskan “Happy Birthday Dian P” di atas kue tersebut.
Sungguh, ini
bukan Bapak gue banget. Semenjak Bapak dan Ibu punya anak pertama sampai
anak ketiganya ini berusia 25 tahun, sama sekali tak pernah kami ‘merayakan’
hari ulangtahun. Paling banter, dalam ingatanku, Bapak hanya, eh, gak hanya sih, itu effortnya besar juga, ya paling banter, Bapak pernah satu dua kali
membelikannku hadiah sesuai yg aku inginkan di hari ulangtahunku, itupun pake
rengekan, pake penolakan ibuku tentu saja, karena membeli sesuatu yg gak benar-benar
dibutuhkan, barang tersierlah, dirasa gak perlu dilakukan pada masa itu, hanya
untuk kesenangan semata. Tapi itu dulu pernah beliau lakukan demi membahagiakan
anak bungsunya ini.
Beli kue dan tiup lilin? Aku ingat beliau pernah
dan semestinya pun sampai sekarang masih berprinsip atau menganggap bahwa
merayakan ulang tahun dengan
tiup lilin bukanlah budaya kami,
tapi budaya umat yg lain dan akan lebih baik jika tidak melakukannya atau
mengikutinya. Tak usahlahku mengutip ayat suci atau hadist yaa. Pasti sudah
tahu yg mana.
Kemudian apa ini? Heu, kusungguh meragukan ini ide
beliau. Tapi tak apalah. Kejadian yg sungguh tak biasa ini, kuanggap saja
sebagai sesuatu yg manis, yg romantis, yg sebaikanya aku syukuri. Terimakasih
Bapak, Ibu dan juga kakakku. Sugguh ku menyanyangi kalian :*
Dilanjut dengan sesi foto yg hasilnya tak seperti
foto ala-ala keluarga yg lain yg biasanya diposting di berbagai sosial media.
Kukirim foto potongan kue yang masih menyisakan
tulisan happy birthday ke Ryal, kukirim juga sebuah komentar
“gue dikerjain disuruh pulang buat beginian, fiuh”.
Dua hari setelahnya, saat aku berjumpa dengannya
lagi dia berkomentar “Kue klasik, kue bolu dengan krim yang berminyak,” katanya
sambil tersenyum-senyum geli.
25 tahun
yg istimewa.
Tambahan: aku pulang sehari setelah hari ulangtahunku dan tulisan ini ditulis beberapa hari setelah kembali ke Jkt.
---
Seperti biasa lagi, aku akan diantar ke stasiun
oleh Bapak. Momen-momen seperti ini nih yang kadang bikin deg-degan, bakal
ngomong apa Bapak selama nunggu kereta datang. Remember? Kita pasti datang satu jam sebelum keberangkatan.
Biasanya akan muncul wejangan tak terduga. Yes,
He did!
“Nanti
kalau udah nikah, tetep kerja ya…”
Hmm, nikah aja belum. But, it’s ok, telen aja
dulu.
“Ya
pak..”
Bukan berarti aku gak setuju dg nasehat itu.
Bagiku, keingingan untuk bisa berbuat baik untuk orang lain dari sesuatu yg aku
kerjakan daripada sekedar bekerja untuk mencari uang; masih ada dan masih besar.
Selain, keinginan untuk tetap merawat dan mengasuh anak dengan penuh. Maunya
kan gak ninggalin anak ke “bibi” atau si “mba”. Heu, tapi itu semua balik lagi
ke kehendak suami, mengizinkan untuk bekerja atau tidak, begitu kan idealnya?
Toh, jadi ibu rumah tangga gak berarti gak bisa
produktif kan (means: menghasilkan
karya; pacar gue seniman, jadi bahasanya
begini).
“Nikahnya
jangan lama-lama,” petir kedua.
Heu. Kubisa bilang
apa? Dulu menggebu sekali, menanti-nanti kapan giliran gue. Sekarang waktu
gilirannya sudah datang, malah panik kalau ada kalimat-kalimat semacam ini.
“Lama
menurut Bapak itu berapa lama?” bisa aja kan definisinya beda.
“Ya
setahun aja.”
“….”
“Bapak
kan sudah tua, biar cepet selesai tugas Bapak, kalau udah (nikah) kan udah
(selesai tugasnya)”
“Ya
pak..” sekali lagi, iyain aja dulu. Barangkali, kalau itu yg diharapkan dan
selalu didoakan orangtua, malah dipermudah jalannya ke sana.
“Kamu
harus familiar sama orang.”
“Hmm?”
masih gak paham. Kalau di-googling familiar itu artinya terkenal atau
akrab. Ini yg mana nih yg dimaksud?
“Harus
baik sama semua orang, kalau gak suka sama orang, gak usah diliatin (ke
orangnya), cukup dalam hati aja”
Wew, itu sih
emang Bapak gue banget.
Kemudian pembicaraan ini berlanjut membahas e-KTP,
korupsi, pilkada dan jabatan. Gak perlu diceritain karena unfaedah.
Bisa dibilang aku ini mirip Bapak, dalam segi
beberapa sifat, irit bicara dan to the
point. Tak pandai atau lebih tepatnya tak suka basa-basi. Di rumah pun gak banyak
momen-momen seperti ini.
Dan aku termasuk anak yg penurut, anak yg manis,
kalau sama Bapak ^^v maybe that’s why I’m
so lucky in my life. Kalau sama ibu manis juga kok.
---
Di kereta yg membawaku pulang, aku duduk di kursi
C, yang artinya jatah dudukku di bangku dekat jalan. Perasaan, waktu milih
kursi di aplikasi itu sudah kupilih kursi dekat jendela, kok beda dg di tiket.
Mungkin perasaan memang gak selamanya benar.
Beruntung, kursi yg tepat di depanku ini diduduki
oleh satu keluarga yg terdiri dari ibu, ayah, seorang anak laki-laki berusia 2
tahunan, dan seorang anak perempuan remaja yg duduk disampingku. Sebelahnya ada
seorang pria, bukan bagian keluarga, kurasa. Sedangkan di kursi sebrang, ada
seorang ibu yang duduk bersama putri remajanya, di depan mereka duduk seorang
anak laki-laki yang lebih muda, dan seorang anak perempuan yang sepertinya anak
bungsu. Ya, keempatnya satu keluarga.
Kenapa kubilang beruntung? Karena satu keluarga yg
duduk di depanku tak banyak bicara dan tidak mengajak bicara, thx God. Mereka
lebih banyak menikmati perjalanan dengan terlelap 😊
Begitupun dg di sebrang.
Kujadi leluasa menghabiskan buku yang kubawa, setengah
buku adalah rekor terbaik selama ini, yg sudah-sudah satu bab saja paling
banter, sisanya gak kebaca bahkan sampai di perjalanan balik ke Jkt.
Perjalanan kembali ke Jkt malah sebalikya. Aku pun
dapat jatah kursi C, yang harusnya aku duduk di bangku dekat jalan. Sewaktu aku
masuk gerbong dan menghampiri tempat dudukku, ternyata sudah ada orang,
lengkap, mungkin sejak dari stasiun keberangkatan Semarang. Di kursi A sudah
ada seorang perempuan muda, mungkin mahasiswa atau mungkin seumuran dg ku, di
kursi B ada seorang laki-laki paruh baya. Di depannya duduk seorang ibu bersama
anak laki-laki umur tujuh tahunan dan anak perempuan dua tahunan. Di sebrang,
duduk seorang ibu, yg meski perawakannya bermata sipit tapi fasih berbasa jawa; anak laki-lakinya, mungkin
sekitaran usia anak SMP; dan seorang laki-laki yg kuyakin bukan keluarganya.
Ternyata ketiga orang dewasa ini, kecuali si mba yg
duduk di kursi A sedang asyik bertukar cerita. Atas ejekan si ibu bermata sipit tadi, aku pada akhirnya
duduk di bangku B, karena tak baguslah seorang laki-laki duduk di tangah,
menang banyak, lol
It’s ok,
kok. Yang bikin gak ok adalah obrolan mereka yg berisik. Obrolannya seputar
pekerjaan dan keluarga, obrolan orang dewasa lah, jadi kuputuskan untuk pasang headset sebagai sebuah penolakan secara
halus agar tidak dilibatkan dalam perbincangan mereka.
Jujur saja aku tidak memasang suara cukup keras,
sayup-sayup juga ku menjadi seorang pendengar diam-diam.
Satu hal yg teramati, bukan inti pembicaraan mereka
sih, tapi ternyata mas-mas di sebrang sana masih berbahasa jawa halus, haha I like it!
FYI aja, biasanya kalau orang jawa ngobrol pake bahasa
jawa, umumnya mereka akan menggunakan bahasa jawa ngoko, atau yg bisa dibilang
bahasa jawa yg kasar, tapi itu lumrah atau boleh kok kalau dipergunakan untuk
sesama. Ada lagi bahasa jawa halus, yg satu tingkatan di atas bahasa jawa
ngoko. Penggunaannya untuk lebih menghormati lawan bicara. Orang tua ke anak
juga bisa menggunakan bahasa jawa halus ini. Kalau bahasa jawa krama, itu tingkatan
yg paling atas, katakanlah yg paling halus banget. Kalau bicara dengan orang
tua sebaiknya menggunakan ini.
Kupikir sudah gak banyak orang (muda) yg masih
menggunakan bahasa jawa halus atau krama. Sejauh yg aku temui, kalau ternyata
masih banyak, berarti lingkunganku aja yg gak di sekitar orang-orang itu.
Terakhir kali aku mendengar orang yg berbicara sahut-sahutan menggunakan Bahasa
Jawa Krama itupun sesama orang yg sudah sepuh. Mungkin gue harus jalan-jalan ke atau tinggal di Solo /
Jogja kalau mau nemu yg semacam itu.
Tapi sekali lagi bahasa itu juga tergantung dialek
atau kebiasaan daerah masing-masing. Meski sama-sama di Jawa, tiap daerah juga
punya dialek tersendiri dan kebiasaan berbahasanya sendiri. Ada juga faktor
lingkungan keluarga. Waktu sekolah SMA dulu juga banyak teman-teman yg menggunakan
bahasa jawa ngoko bahkan dg orangtua, atau malah cenderung menggunakan Bahasa
Indonesia.
Aku? Masih menggunakan bahasa jawa krama sesekali,
kalau Bapak ngajak gomong pake bahasa jawa ya. Tapi gak mungkin gue ngomong pake ngoko, Bapak aja ke anaknya pake jawa
yg alus, nanti dikira anak gak sopan.
Maka dari itu, aku sungguh takjub kalau ada sesesorang
yang masih menggunakan bahasa jawa halus ke orang lain, apalagi orang yg baru
dikenal. Ya to mas?
Salah satu bucket
list aku sih ngajarin anak bahasa jawa juga nanti. Harus bisa sampe
ngomongnya juga ya nak. Sejauh yg aku temui, peranakan jawa yg entah itu sesama
jawa atau persilangan lintas suku pada umumnya tahu bahasa jawa dan ngerti apa
yg dimaksud, tapi gak bisa ngomong
bahasa jawa.
Lalu mengapa ini kok kayak jadi
penting banget buat gue? Karena bahasa jawa itu secara gak langsung
mengajarkan sopan santun. Pilihan kata yg kita gunakan bisa disesuaikan dengan
siapa lawan bicara kita. Kalau sekarang
kids jaman now, entah apa sebutan generasi anak gue nanti, bolehlah kamu jadi
anak gaul yg gak gaptek, tapi hal-hal mendasar seperti sopan santun, kejujuran,
dan semacamnya harus dibangun kuat sejak bikin fondasinya. Ya kan, Bang (ngomong sama mas pacar)?
Semoga
ini bukan sebuah bentuk dari primordialisme. Aku yakin setiap suku bangsa
negeri ini unik, kaya, penuh dengan nilai luhur. Sebagai sebuah curcol,
semenjak SMP bahkan aku berniat dan menyeriusi untuk berpasangan (sampai usia
senja) dengan seorang lelaki non-Jawa. Alasannya? Percampuran itu membuat kita
semakin “kaya”. Aku bukan tipikal yg terlalu percaya dengan mitos-mitos
perkawinan antarsuku yg banyak info negatifnya. Semua akan baik-baik saja
ketika kita mengusahakan untuk tetap baik-baik saja, bukan?
Sebagai seorang introvert yang suka mengamati
lingkungan, ini menjadi sesuatu yg menyenangkan, hmm mencoba menyemangati diri
sendiri, padahal kadang suka kesel why I become very quiet person?
._.
Catatan:
Terdapat
inkonsistensi penggunaan kata ganti orang pertama: aku-dan-gue. Kalau lagi pake
“gue” artinya semacam ngomong sama diri sendiri gitu 😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar