Nonton film dokumenter tak selalu
membosankan. Coba saja tonton satu film yang temanya lo banget. Dijamin malah
bikin ketagihan, macam candu. Kalau buat saya malah bikin mikir, makanya lebih
asyik kalo nobar (nonton bareng) sama temen yg satu peminatan. Jadi mikirnya bisa
bareng-bareng. Bukalah diskusi, kalo berat, komentari saja dulu, pasti nanti
jadi ngalor ngidul.
[intoduction-nya pake curhat dulu, lewati
aja kalo kepanjangan]
Seharusnya
rangkuman dari tulisan ini sudah ada dalam bentuk utasan tweet. Dulu saya
berniat bikin ulasan singkat setelah nobar perdana layar tancap film Asimetris,
13 Maret lalu di LBH, Jakarta. Ulasan ala-ala
tentunya, tapi niat itu luntur, terganti dg niat bikin ulasan yg (((agak))) (((sedikit)))
serius, ha-ha, meski kayaknya tetep seperti ala-ala.
Sejujurnya
saya tidak begitu mengenal Watchdoc ataupun Dandhy Laksono, apalagi menggemari
film dokumenter. Bagi saya mendengar kata “film dokumenter” saja sudah terkesan
sesuatu yg membosankan. Meski beberapa kali Ryal menyebutkan dua nama tersebut
dan beberapa kali menyarankan untuk nonton film hasil karyanya *betapa besar
usahanya untuk membuatku tertarik*, rasa-rasanya belum tergerak untuk mau
nonton.
Suatu
hari, di lini masa twitter, entah siapa, salah satu akun twitter yg saya ikuti tampak
memberikan simbol love pada sebuah
utasan mengenai channel youtube
“berkualitas”, sebuah informasi (dan ajakan terselubung) agar tontonan youtube kita gak itu-itu aja -- nonton
orang makan, jalan-jalan, stand-up,
debat politik, kabar (gosip) yg sedang viral atau ceramah daring.
Wow,
serasa ada yg akrab di mata, Watchdoc. Ooh, mungkin memang perlu sesekali
ditonton. Sejak itulah saya agak memberi perhatian padanya.
Ryal
mengirim sebuah tautan youtube trailer sebuah film. Walah, bikin film dokumenter sendiri aja, pake dibikin trailer, kayak
box office. Pas udah ditonton, wiiiiii,
seru! Menarik. Kapan nih tayang? Gak sabar liat versi full-movie-nya.
Mungkin
karena ada unsur ketertarikan pribadi terhadap isu yg sedang diangkat, kelapa sawit.
Dulu, ceritanya pernah pingin kerja di perusahaan sawit gitu, ha-ha-ha, efek cerita dari kakak saya yg
kerja di perusahaan sawit, makanya jadi tertarik untuk nonton film ini.
Datanglah
hari yg ditunggu. Pemutaran perdana film Asimetris serempak di beberapa kota di
Indonesia, dari ujung Sumatra, Banda Aceh, beberapa kota besar di pulau Jawa,
Makassar hingga Maluku. Uniknya, pemutaran film ini diberi nama nobar ‘layar
tancap’. Mungkin konsepnya seperti nonton layar tancap kuno awalnya saya pikir,
meski aslinya pake proyektor. Wes mboh,
sing penting selak pingin nonton.
Karena sekarang kami berdomisili di Jakarta, otomatis kami nonton di LBH
Jakarta.
--
Film ini
menampilkan kumpulan kisah orang-orang yang bersinggungan langsung dengan
industri kelapa sawit. Dikumpulkan dari Sumatra, Borneo atau Kalimantan,
Sulawesi, hingga Papua. Papua?? Masa sih industrialisasi kelapa sawit udah
sampe Papua juga. Saya baru tau waktu itu. Katrok gak? Kisah-kisah dari petani
mandiri dan potret keluarganya, buruh pabrik sawit, aktivis koperasi kredit,
masyarakat adat, juga warga sipil yang kena dampak asap kebakaran hutan di
Sumatra tahun 2015 lalu.
Video editing dan konsep berceritanya tidak
membosankan, makanya meski durasi film ini satu jam lebih dikit, tapi gak ada
bosannya selama itu mantengin layar tancap. Selain menampilkan kisah perjalanan
si pembuat video, peristiwa-peristiwa yg terjadi selama peliputan (kabut asap,
situasi rumah sakit), wawancara beberapa narasumber (bahkan ada yg di sebuah
lapas), potret lahan sawit dan kegiatan di sekitarnya, cuplikan video acara tv
nasional, pidato pakdhe Jokowi sampai
iklan bahan bakar minyak, dirangkai apik dengan sajian data yg rinci--rinci
banget. Itu sih kerennya, menggabungkan data ilmiah dan potret asli di
masyarakat.
Oh ya,
video ini memiliki teks terjemahan di bawah film (subtitle) dalam bahasa Inggris, jadi gak heran kalau film ini juga
ditonton sampai di Lancaster University, UK pula.
Ada satu
bagian yg entah kenapa kok harus ada di bagian awal film, adegan mbak-mas
suap-suapan es krim di sebuah cafe.
Meski cuman sekilas tapi berhasil bikin saya gemas.
Memasuki
bagian tengah ke belakang film ini jadi serius dan ada juga bagian sedih yang
bikin mikir untuk lebih bersyukur kalau kondisi kita lebih baik dan beruntung
dari sang pencerita.
--
Asimetris,
menurut paham saya, menuturkan ketidakseimbangan kesejahteraan antara pemilik
industri kelapa sawit dengan petani-petani kelapa sawit mandiri;
ketidakseimbangan manfaat kelapa sawit baik dari segi ekonomi dengan
dampak industrialisasinya terhadap sektor lingkungan dan sosial masyarakat.
Diceritakan,
kelapa sawit, yang digadang sebagai komoditi ekspor unggulan Indonesia,
memiliki berbagai manfaat, setidaknya dalam 3 hal: logistik (minyak goreng, campuran
mentega), campuran bahan kimia (sabun mandi dkk), dan campuran bahan bakar.
Ilmuwan telah mengembangkan kelapa sawit sebagai campuran bahan bakar untuk
kendaraan yang disebut dengan biofuel.
Bahkan tak hanya untuk mobil dan truk, biofuel
juga dikembangkan untuk campuran bahan bakar pesawat. Campuran kelapa sawit
dalam bahan bakar dari proporsi 20% juga terus dikembangkan naik menjadi 30%.
Di Eropa, kelapa sawit telah digunakan 46% sebagai bahan bakar dan 16% untuk
listrik. Dalihnya adalah pengurangan ketergantungan terhadap bahan fosil yang
tak terbarukan.
Yang
artinya, permintaan akan kelapa sawit semakin hari semakin besar. Jika ini
dinilai sebagai industri yg menguntungkan bagi korporasi, tentunya
menguntungkan, telebih Indonesia sebagai pemasok 80% minyak kelapa sawit mentah
(CPO) dunia bersama Malaysia tentunya telah menguasai pasar. Usaha pembukaan
lahan dan hutan untuk kelapa sawit, khususnya di Indonesia semakin
besar-besaran. Maybe, that’s why forest
fire occured in so many parts of this country, including Sumatra, Borneo,
Sulawesi, until Papua. Karena dinilai menguntungkan bagi korporasi.
Dari
segi ekonomi, kelapa sawit telah memberikan sumbangsih triliunan rupiah.
Meperkaya si kaya. Tercatat 14 dari 30 orang terkaya di Indonesia memegang
sektor sawit, meski juga menguasai sektor lain seperti rokok, properti dan media
massa. Lalu bagaimana dengan nasib petani mandiri?
Manfaat kelapa sawit memang banyak bagi kelangsungan gaya hidup manusia modern, dari
kebutuhan makanan, bahan bakar, bahkan listrik. Tak seimbang dengan
keberlangsungan hidup para petani penggarap kelapa sawit terutama bagi mereka
yang hanya memiliki lahan 1 atau 2 ha. Dari keseluruhan lahan sawit di
Indonesia, 45% dikelola oleh petani kecil. Biaya perawatan dan pemupukan kelapa
sawit jauh lebih besar dibanding hasil panen yang diterima. Bagi perusahaan-perusahaan
besar, mengelola lahan sawit dengan berbagai teknologi canggihnya, telah
berhasil menciptakan angka panen 8 ton per ha. Sedangkan bagi petani kecil, yang
menurut pakdhe Jokowi jangan cuma
bisa menghasilkan 2 ton, harusnya bisa sama besarannnya dg perusahaan. Lah pakdhe, untuk beli pupuk aja masih
ngutang, apalagi pake mesin, belom lagi kalau hasil panennya kurang bagus,
turunlah sudah harga jualnya. Rugi bandar.
Belum
lagi masalah lingkungan akibat industrialisasi kelapa sawit. Satu, asap
kebakaran hutan di sejumlah titik di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi.
Sekitar 3200 titik api tercatat di seluruh lokasi kebakaran hutan. 52% terjadi
di lahan gambut kering, yang disangkakan sengaja dibakar untuk membuka
perkebunan sawit. Kemarau panjang atau el nino bukanlah faktor pencetus
terjadinya kebakaran tersebut, tapi memperparah keadaan. Sejumlah 19 orang
meninggal dan ISPA yg menghantui masyarakat akibat nilai polusi udara waktu itu
mencapai 1300% dari ambang batas.
Pencemaran
air akibat limbah industri kelapa sawit terjadi di Paminggiran, Hulu Sungai
Utara, Kalimantan Selatan. Limbah perusahaan sawit dibuang ke sungai. Membunuh
habitat ikan papuyuh yang hidup di sungai gambut. Warga desa yang tadinya
bergantung pada sungai, kini seperempatnya, terutama para lelaki telah pergi ke
kota untuk menggantungkan hidup.
Cerita
buruh perusahaan sawit. Narasumbernya seorang wanita. Setiap hari bangun jam 2
pagi, berangkat jam 3 atau setengah 4 ke perkebunan sawit yg jaraknya lumayan jauh dari rumah, kerja sampai jam 1 siang, pulang pun menunggu truk pengangkut buah
dan tiba di rumah jam setengah 3 sore. Kerjanya? Memanen 2 ha sawit, memupuk
sebanyak 12 sack, dan menebas dahan dalam 1 ha kebun sawit. Jika tak selesai semuanya dalam
satu hari, dipotonglah upahnya oleh si mandor. Dari jatah Rp99.000 per hari,
kadang hanya dapat Rp.25.000 atau Rp.30.000 saja. Bahkan, sudah 7 tahun ia bekerja,
statusnya masih karyawan harian lepas yang artinya ia tidak memiliki tunjangan
beras, jaminan kesehatan dan jatah cuti.
Masih ada yg bisa disyukuri dengan hidup
ini? Mikir sendiri sendiri.
Kelapa
sawit, meski menggiurkan, memiliki mereka-mereka yang masih berpegang teguh
untuk menolak. Sebuah koperasi kredit Gemalaq Kemisiq di pedalaman Ketapang,
Kalimantan Barat tidak memberikan pinjaman bagi petani yang hendak membuka perkebunan
kelapa sawit. Menurut Muliadi Bidau, pengurus koperasi kredit Gemalaq Kemisiq,
kelapa sawit termasuk jenis tanaman monokultur yang merusak sumber air. Jika
ditanam, sumber air akan kering dan ketika hujan menyebabkan banjir. *kemudian
muncul video banjir* Mereka lebih mendorong petani untuk tidak hanya bergantung
pada satu jenis tanaman saja, misalkan punya pohon karet, tanamlah juga tanaman
buah yang hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
--
Ini
bagian yang membekas, bagi saya.
Di
Batanghari, Jambi, masyarakat masih berpegang pada warisan leluhur. Hidup
dengan filosofi 3 prinsip: padi, ternak dan karet. Ado padi serba menjadi, ado ternak seba enak, ado parah serba murah.
CMIIW karena bukan orang Padang, emm gak tau juga bapaknya itu suku Padang atau
bukan, tapi logatnya semacam itu.
*membekas karena pernah pingin deket sama
orang Padang*
*diamuk Ryal*
Baginya
dengan menanam padi, kebutuhan untuk makan selama setahun pun pasti bisa terpenuhi.
Ternak yang dipelihara bisa dijual ketika ada kebutuhan mendesak yang penting
seperti menyekolahkan anak. Jadi ketika ibu-ibu pergi ke sawah, bapak-bapak pergi
menyadap karet.
Dengan
luas sawah 820 ha, tentunya dilirik oleh perusahaan untuk dibeli dan dijadikan
perkebunan sawit. Akan tetapi, mereka dengan tegas menolak, bahkan bagi siapa
yang menjual tanahnya untuk sawit, tak segan-segan untuk dikeluarkan dari
kelompok tani dan bisa terjadi pembongkaran lahan. Hidup berpegang pada filosofi
leluhur nampaknya masih ada dan masih dijaga oleh sebagian masyarakat
Indonesia.
Penolakan
sawit atas nama menjaga warisan nenek moyang juga dilakukan masyarakat adat Dayak
Tomun di desa Kabung, Kalimantan Barat. Teknik tumpangsari masih diyakini lebih
menguntungkan secara ekonomi dibanding kelapa sawit. Sistem ladang berpindah
diwariskan oleh leluhur, telah menjadi sumber pangan mereka sehari-hari. Hutan
menyediakan padi, sayur-mayur, singkong, bumbu-bumbu masakan hingga tebu.
Pembukaan hutan yang berjarak 25 km dari tempat tinggal mereka dianggap
mengancam kehidupan. Bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan, jati diri dan
identitas.
*kalau jaman SD inget fungsi hutan sebatas sebagai paru-paru dunia, sekarang baru sadar ternyata gak sesederhana itu*
Masih
tentang cerita masyarakat adat. Di Ketapang, Kalimantan Barat, untuk membuka
hutan menjadi sawah padi ladang mereka melakukan upacara adat yang disebut
dengan “menunggal”. Ada beberapa rangkaian ritual, termasuk menyembelih babi,
hi-hi-hi, dan membaca doa di ladang yg baru saja dibuka tersebut.
Pengawas,
salah seorang suku Dayak, menceritakan proses suku Dayak dalam membuka lahan.
Terdapat beberapa rangkaian seperti menebas, menyekat dengan bambu (mungkin maksudnya untuk
memberi tanda batas), memangkas pohon-pohon besar menggunakan kapak, memangkas
dahan-dahan besar, baru membakar. Bahkan untuk membakar pun, mereka
memperhitungkan arah angin supaya api tidak menyebar ke lahan yang lain.
Jadi, isu kebakaran hutan di Kalimantan terjadi sejak lama itu tidak benar.
Menurutnya, kebakaran hutan mulai muncul ketika perusahaan mulai membuka
industri perkebunan di Kalimantan.
Masih
menyoal pembukaan lahan dan hutan. Pemerintah pernah melakukan program
pengalihfungsian lahan gambut di Kahayan, Kalimantan Tengah menjadi areal
persawahan dengan mendirikan bendungan untuk irigasi di tahun 1996. Proyek
tersebut gagal dan masih menyisakan hutang ganti rugi atas perkebunan rotan dan
karet milik warga untuk pembangunan bendungan tersebut.
Ide
pencetakan sawah di tanah Papua juga terjadi. Pembukaan sawah seluas 1 juta ha
di Merauke. Industri perkebunan sawit juga menjarah tanah Papua. Praktek ini
ditolak warga suku Mahuze Besar yang bersikeras mempertahankan tanaman sagu.
Lalu apa
yang bisa saya lakukan sebagai warga negara yang tidak bersinggungan langsung
dengan industrialisasi kelapa sawit tapi ingin ikut berupaya mengurangi
permintaan dunia atas kelapa sawit?
Apakah
harus mandi menggunakan daun Hihonje sebagai sabun seperti masyarakat suku Baduy?
Tentunya
saya tidak bisa seperti masyarakat suku Boto, Nusa Tenggara Timur yang membuat
sendiri minyak kelapa untuk memasak dan meminyaki rambut.
---
Kabarnya,
setelah diputar di lebih dari 200 titik layar tancap di seluruh Indonesia, video
lengkap film Asimetris ini sudah bisa ditonton juga di channel youtube Watchdoc. Antusiasme masyarakat Indonesia tampak
besar, terbukti dari sejumlah titik pemutaran film tidak hanya di beberapa
Universitas oleh mahasiswa sekaligus ajang diskusi kaum terpelajar, pemutaran
film ini bahkan sudah dilakukan di sebuah mall dan komunitas-komunitas warga
di pelosok negeri.
Gak rugi
kalau ditonton, syukur-syukur nobar dan lanjut diskusi sama temen sejawat.
One
thought: masyarakat adat yang tak berpacu dengan
peningkatan teknologi dan gaya hidup modern, yang justru seringkali dikira
primitif, nyatanya justru lebih arif dalam menjalani hidup untuk dirinya dan
lingkungan tempat ia tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar