Berkunjung ke Garnas, Makam Soe Hok Gie dan Bentara Budaya

Misi kami: menjelajah museum di ibu kota. Sebuah ide travel-date yang Ryal cetuskan suatu waktu. Melihat dan mengamati pameran seni, meski tak mudah dimengerti. Mengunjungi tempat rekam jejak sejarah. Mengunjungi tempat yang tak banyak orang tau atau belum viral. Katakanlah kami sedang melakukan gerakan #ayokemuseum.


Sepanjang tahun 2017 dan selama aku bekerja di tempatku yang dulu, jatah liburku hanya lima kali dalam sebulan, bisa ditambah satu hari cuti. Sedihnya, diantara lima hari itu aku hanya dapat jatah satu kali hari libur di akhir pekan. Karena sistem kerjanya shift dan pembuatan jadwal dilakukan satu bulan sebelumnya, kami selalu merancang tanggal berapa mau ambil hari libur akhir pekan. Dengan keterbatasan ini, jatah mainku dengan Ryal juga cukup terdesain sedemikian rupa. Kami lebih banyak memilih untuk bermain-main di dalam kota saja.

Pernah suatu kali dalam sebuah perbincangan di atas motor, entah dalam perjalanan yang mana, kami pernah ber-ide untuk mencoba menjelajah museum yang ada di Jakarta -- Ryal lebih tepatnya, bukan kami. Nge-date keliling museum. Why not?

Kalau diingat-ingat lagi, first date kami pun ke museum. What about you?
Waktu itu Ryal mengajakku mengunjungi Galeri Nasional Indonesia (Garnas -- begitu Ryal menyebutnya), tepat dua hari setelah kami officially in relationship. Dan sebagai warga Bogor yang jarang main-main ke Jakarta, itu adalah pengalaman pertamaku ke sana.

Galeri Nasional Indonesia adalah tempat pameran karya seni rupa, seperti lukisan, fotografi, sketsa dll. Biasanya tema pameran akan berganti dalam beberapa kurun waktu tertentu. Pertama kali ke sana, aku tak ingat betul tema apa yang sedang diangkat. Yang kuingat, kami sekali berswafoto di depan sebuah lukisan (alm) Munir. Mengapa berswafoto berlatar lukisan beliau jadi istimewa? Karena beliau adalah salah seorang tokoh pembela dan pejuang keadilan di Indonesia favorit Ryal. Gak deng! Karena foto itu adalah foto pertama kami yang Ryal upload di instagram, wkwkwk.

Kedua kali main ke Garnas di bulan Agustus di tahun yang sama (2016), tema pameran sudah berganti. Karena Agustus adalah bulan peringatan kemerdekaan negara kita tercinta, tema pameran waktu itu adalah koleksi lukisan dan benda-benda seni lain milik Istana Kepresidenan RI.


Sudah satu tahun lebih kami tak berkunjung ke sana. Seru aja sepertinya mengulang rasa-rasa, mengenang sih lebih tepatnya, mengenang rasa nge-date pertama. Dalih lainnya adalah aku yang ngebet buat foto dengan background mural di Garnas yang sudah berbeda dari tahun lalu. Maka kami putuskan destinasi main-main kami di akhir pekan itu salah satunya mengunjungi Garnas.

Wkwkwk, beberapa waktu lalu aku pernah tweet tentang hal ini. Menanggapi maraknya kunjungan warga Bandung ke sebuah tempat wisata swafoto yang kontroversial karena terbukti mimiliki kemiripan dengan sebuah tempat wisata di Los Angles. Plagiasi karya seni. Tapi bukan itu poinnya. Ada sebuah artikel yang pernah kubaca mengenai kecenderungan wisatawan zaman sekarang yang lebih mengutamakan swafoto, memenuhi koleksi album galeri, yang tentunya diikuti kebutuhan untuk posting di media sosial pribadinya, dibanding menikmati liburannya.

Dalam tweet yang aku buat itu, aku mengatakan betapa bersyukurnya aku yang tidak fotogenik sehingga tak banyak menghabiskan waktu untuk berfoto, lebih baik menikmati momen.
Apakah itu relevan dg alasanku untuk berkunjung ke beberapa museum di Jakarta? Wkwkwk
Tak bisa dipungkiri, salah satu alasannya memang untuk berfoto di spot yang menarik untuk di-posting di media sosial. Semoga masih bukan yang utama. Karena seperti yang telah kukatakan, sebagai seorang non-fotogenik dan seseorang yang agak risih berlama-lama berpose di depan kamera di tempat umum, mengambil foto dilakukan hanya untuk dokumentasi pribadi, dengan tak melupakan makna liburan yang sesungguhnya.

Menikmati karya seni? Gak juga sih. Bahkan sampai berkunjung ke Jakarta Biennale 2017 dan sampai sekarang pun, aku tak cukup ahli dalam hal itu. Kadang seni itu tak mudah dimengerti, tapi tentu bisa dinikmati.
Walaupun tak ahli, sejauh ini aku memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap lukisan, gambar, tarian, paduan suara, dan seni lakon.

Kemudian apa tujuan berkunjung ke museum yang baik? 
Karena museum, galeri seni adalah sebuah tempat pameran sebuah karya, di tempat tersebut kita bisa menambah wawasan. Karya seni biasanya memiliki pesan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Bisa jadi sebuah gagasan, wujud protes atau pemberontakan, bahkan cerita sejarah. Yaa kalau belum bisa mengerti, sekadar cukup tau aja juga sudah baik.

Ohya, tema pameran saat itu, Oktober 2017, lukisan abstrak. Paham? Jelas enggak lah. 
Lukisannya sejenis dengan lukisan buatan Patrick, murid kesayangan Ryal.
Tapi di dekat lukisan biasanya terdapat penjelasan mengenai lukisan tersebut. Setelah membacanya terlebih dahulu, biasanya aku menerka-nerka gambaran lukisan abstrak itu. Mencoba memahami dan berimajinasi.


--


Destinasi kedua hari itu adalah makam Soe Hok Gie, kw.
Museum Taman Prasasti, sebuah museum terbuka, kumpulan batu nisan peninggalan kolonial Belanda, terletak di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masuk ke museum ini, pengunjung dikenai biaya Rp.5.000. Di bagian depan, kita akan melihat sepasang kereta kuda, antik. Masuk ke bagian dalam, kita bisa berkeliling mengikuti jalan setapak. Di bagian kiri, terdapat dua buah peti mati yang pernah digunakan oleh Soekarno dan Hatta. Berkeliling menyusuri jalan setapak, kita bisa melihat banyak batu nisan dengan berbagai bentuk, milik tokoh-tokoh zaman kependudukan Belanda. Ada juga tugu peringatan tentara Jepang yang gugur melawan Sekutu. Dan lain lain, dan lain lain, yang akupun tak begitu mencermati itu nisan siapa.

Satu hal yang membuat kami berkunjung kesana adalah sebuah nisan Soe Hok Gie. ‘kw’ karena menurut cerita Ryal, abu jenazah Soe Hok Gie disemayamkan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Siapa Soe Hok Gie? Seorang tokoh pergerakan mahasiswa 1960-an, sebatas itu yang kutahu.

Singkatnya, ia adalah seorang warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang semasa hidupnya aktif menyuarakan dan melakukan pergerakan melawan tirani pemerintahan era Soekarno dan Soeharto serta PKI. Sebagai seorang mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI ia pun aktif menulis dan beberapa artikelnya dimuat di surat kabar nasional. Dia juga suka naik gunung lho! Sayangnya, ia meninggal saat melakukan pendakian Gunung Semeru, menghirup gas beracun, tepat satu hari sebelum ulangtahunnya yang ke 27.


“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” – Soe Hok Gie


Beberapa buku Soe: Catatan Seorang Demonstran, Di Bawah Lentera Merah, Zaman Peralihan, Orang-orang di Persimpangan Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun 1948. Hmm, sepertinya aku harus pinjam dan baca buku-buku itu dari Ryal.

Oh ya, kisah hidup Soe Hok Gie juga pernah dibuat film, digarap oleh Riri Reza. Seingatku aku baru nonton setengah :"

Apakah ini semacam wisata rohani? Berkunjung ke sebuah pemakaman untuk melembutkan hati kita yang bisa jadi sudah mulai keras melawan dunia. Nggak juga.
Sejenak mungkin iya. Tapi, yang aneh terjadi pada kami, di sana, di antara nisan-nisan itu, kami berdua duduk di bangku-bangku yang terbuat dari batu atau mungkin semen -- kupastikan bukan nisan. Lama kami berbincang mendiskusikan tentang aku, dia (Ryal) dan juga kami. Suasananya tenang, cukup rindang dan sedikit semilir angin. Sebuah rangkaian suasana yang membuat kami betah -- aneh juga bisa betah nongkrong di kuburan.

Dan baru baru ini aku sadar, yang kami lakukan seperti Ethan dan Celine di film Before Sunrise (baru nonton awal 2018).
Yes, they went to a grave, and, they talk too much. Aku belum begitu paham dengan isi obrolan mereka, mungkin harus nonton ulang beberapa kali lagi.

I realize that a light or heavy talk we did was precious thing, mengenal dan memahami satu sama lain, bahkan di mana pun tempatnya, lebih baik daripada hang out ngikutin tren dan capek-capekan–nah kan makin kayak Ethan & Celine.

Better than ngedate-di-cafe-atau-restoran-hits-dan-mahal-untuk-difoto-dan-posting-di-media-sosial juga jalan-jalan-yang-cuma-nyari-tempat-foto-bagus-dan-posting-di-media-sosial-terus-malah-bikin-capek. I mean, gak perlu melulu atau selalu seperti itu. Although, beberapa orang berbagi di media sosial untuk memperkanalkan destinasi wisata yang menurutnya layak dikunjungi.

Selain itu, kurasa kita gak perlu-perlu-banget melakukan afirmasi publik kalau kita adalah pasangan yang bahagia dan baik-baik saja.


--


Menuju sore hari, Ryal memacu sepeda motornya ke daerah Jakarta Barat. Andalan kita, Bentara Budaya Jakarta. Biasanya ada kegiatan seminar, pameran, pementasan seni dan kegiatan seni atau sastra lain.
Kali ini kami datang ke sebuah seminar bedah buku sejarah dengan narasumber Iksaka Banu, penulis buku “Semua untuk Hindia” dan “Sang Raja”.

Buku dan kisah sejarah. Ew, sebagai seorang anak IPA yang mencurahkan segenap hatinya untuk berbagai hal berjenis eksakta, (pelajaran) sejarah agaknya luput dari perhatianku. Komentar pada umumnya: membosankan. Padahal kalo ditelisik ternyata akibat belum menemukan asyiknya mengulik sejarah.

Dalam acara itu, si Bapak bercerita tentang proses pembuatan buku–novel—sejarah. Banyak riset, banyak wawancara, banyak baca sumber -- termasuk teks bahasa Belanda, karena temanya memang era kolonial Belanda -- menentukan alur dan rangkaian penulisan buku pada umumnya.

Satu hal yang aku ingat dalam diskusi itu, sejarah cenderung mengalami pengulangan. Kejadian-kejadian yang dialami manusia zaman sekarang pernah terjadi di masa lampau, diantaranya: praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Baiknya manusia mau membaca dan belajar dari sejarah untuk mengurangi pengulangan tindakan tak baik itu.
Ah ya, ada lagi, soal hitam dan putih. Tak semua anak bumiputera itu baik, pun tak semua koloni Belanda itu jahat. Men-generalisasi itu tak benar. Itu salah satu pesan yang ingin disampaikan Bapak Iksaka Banu dalam novel terbarunya Sang Raja, sebuah kisah intrik dalam pabrik rokok kretek.

Penjelajahan yang berfaedah. Mengikuti suatu diskusi, memperkaya gagasan, kembali menumbuhkan semangat (Ryal) untuk melanjutkan misi penulisan sebuah buku.


Hari libur yang menyenangkan, lain kali kami akan keliling museum lagi ~


koleksi Istana Kepresidenan RI


 swafoto pertama kami yg diupload di instagram


foto dg background mural di Garnas Juni 2016 


foto dg lukisan pameran di Garnas Agustus 2016


Beberapa foto lain masih dicari keberadaannya. Postingan ini akan diperbarui secepatnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar