diannprawita

Januari 01, 2019

Reading Challenge 2018

by , in

I did my reading challenge 2018, and not completely fulfilled, but IT’S A BIG achievement cz I did 37 of 40 books. Untuk golongan manusia yang sangat jarang mau terikat dengan target, 92,5% adalah pencapain yang (sangat) besar. Terlebih ini adalah kali pertama aku mau menantang diriku sendiri membaca buku sebanyak itu. Ya, sebanyak itu. Karena membaca buku adalah kegiatan yang belum lumrah aku lakukan. Tahun ini aku belajar dan memutuskan menjadikan aktivitas “membaca buku” sebagai kebiasaan hingga lanjut usia. It’s so DAMN COOL man!!

Akhir tahun 2017, aku dan Ryal menantang diri kami untuk membaca lebih banyak buku. Ada beberapa alasan, bagiku pribadi aku ingin lebih banyak menemukan kosa kata baru, memaksa otak tetap bekerja mengolah kata dan makna.

Awalnya kami tidak memasang angka karena kami lebih suka sesuatu yang mengalir saja. Kami juga tidak memiliki patokan yang sesuai karena sebagai new comers alias pemula dalam klub baca buku, “membaca” apalagi buku yang tebal adalah aktivitas yang memiliki banyak godaan untuk tidak dilakukan.
Aku mengenal (sok kenal) mba Puty karena karya ilustrasinya yang sederhana tapi sarat cerita dan makna. Ia sudah rutin membaca buku dan di akhir tahun 2018 membentuk klub membaca bagi ibu-ibu dengan nama BuiBuBacaBukuClub (@BBBBukuClub). 40 adalah angkanya, dan tanpa pikir panjang juga banyak pertimbangan, aku pun menggunakan itu sebagai acuan.

Kata Bara, buku yang dibaca seseorang dalam kurun waktu tertentu mencerminkan kondisi orang tersebut. Mungkin benar, tapi aku lebih setuju dengan konsep yang Bara bilang “membaca buku untuk menemukan jawaban”. Mengapa kita (orang Indonesia) yang katanya (hasil survey) memiliki minat baca (buku) yang rendah (tapi banyak juga yang menampik dengan berbagai alasan), memang (menurutku, pandangan pribadi) masih memiliki minat baca (buku) yang rendah? Karena masing-masing dari kita tidak memiliki alasan “untuk apa” baca buku.

Aku aja baru merasa butuh dan mau baca banyak buku setelah masuk dunia kerja, usia 25 tahun. Bisa jadi salah satu alasannya adalah tidak memiliki budaya baca dari lingkungan yang paling dekat, keluarga. Beberapa teman yang sudah lebih banyak membaca buku memang sudah biasa dan kenal dengan buku dari orangtua atau kakek-neneknya.

Lalu apa alasanku mau baca buku? Untuk tahun 2018, setelah kupikir-pikir sambil memandang list buku yang sudah dibaca, alasan terkuatnya adalah ‘mau tau lebih banyak tentang sejarah’. Dari tantangan membaca buku 2018 ini aku menemukan satu hal lain: aku cukup memiliki minat yang besar terhadap fiksi sejarah, makanya doyan juga nonton Game of Throne, LOL.

Beberapa buku memang terpilih secara acak dan habis terbaca karena penasaran atau suka dengan pengarangnya. Result of my Reading Challenge 2018:


1.       The Journeys 2: Cerita dari Tanah Air Beta by Alanda Kariza dkk
2.       The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana by Teddy W. Kusuma, Maesy Ang
3.       Happiness is Homemade by Puty Puar
4.       Young On Top by Billy Boen
5.       Sebuah Kitab yang Tak Suci by Puthut EA
6.       Para Bajingan yang Menyenangkan by Puthut EA
7.       Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi by Yusi Avianto Pareanom
8.       Aku, Meps, dan Beps by Reda Gaudiamo, Soca Sobitha
9.       Semasa by Teddy W. Kusuma, Maesy Ang
10.   Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura by Rusdi Mathari
11.   Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu by Mahfud Ikhwan
12.   Iblis Tidak Pernah Mati by Seno Gumira Ajidarma
13.   Kesetrum Cinta: Kisah jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss by Sigit Susanto
14.   24 jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif by Sabda Armandio
15.   Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah by Puthut EA
16.   Guru Mencubit Berdiri, Murid Bandel Berlari, Kita Mencibir Bangga Sekali by PuthutEA
17.   Dunia Kali by Puthut EA
18.   Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! By Muhidin M. Dahlan
19.   Animal Farm by George Orwell
20.   Ibunda by Maxim Gorky

21.   Fish in a Tree by Linda Mullaly Hunt
22.   Laporan Akhir Pengadilan Rakyat Internasional 1965
23.   Seperti Roda Berputar by Rusdi Mathari
24.   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan by Rusdi Mathari
25.   Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam: Sehimpun Reportasi by Rusdi Mathari
26.   Sekolah Itu Candu by Roem Topatimasang
27.   Rahwana: Kisah Rahasia by Anand Neelakantan
28.   Mereka Bunuh Munir by Eko Prasetyo & Terra Bajraghosa
29.   The Wild West Journey: Winnetou Part 2 of 2 by Karl May
30.   Laut Bercerita by Leila S. Chudori
31.   Charlie and the Chocolate Factory by Roald Dahl
32.   Bunga untuk Poppy by Hilman Hariwijaya
33. The Wonderful Wizard of Oz karya Raymond Frank Baum, diceritakan kembali oleh Ken Takahashi
34.   Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat by Mark Manson
35.   Marxisme: Ilmu dan Amalnya by Njoto
36.   H.M. Misbach: Kisah Haji Merah by Nor Hiqmah
37.   Max Havellar by Multatulli, Eduard Douwes Dekker

Mulai aja secara acak, lambat laun akan ketemu jodohnya (alasan).
Semoga suatu hari bisa memenuhi semua resensi buku-buku ini.
Mari memulai Reading Challange 2019 dengan angka yang sama.


Oh ya, apakah kita bisa membandingkan minat baca buku dengan minat baca artikel berita? Video Remotivi ini punya jawabannya.

Juli 21, 2018

Ber-Social-Media

by , in



Berapa banyak media sosial yang kamu miliki dan masih aktif hingga sekarang? Dalam satu dekade terakhir, banyak media sosial bermuculan seiring kemajuan teknologi. Mereka unggul dengan fungsi, keunikan dan tentu saja pembaruannya masing-masing. Selain menghabiskan cukup banyak kuota internet dan memori telepon, aku memutuskan untuk menyaring dan menghapus beberapa aplikasi yang dirasa tidak perlu karena terlalu banyak menyita waktu dan tentu saja, menghilangkan fokus pada hal yang lebih produktif.


--


Peer preassure, rasanya kurang gaul jika tidak memiliki dan aktif media sosial tertentu yang sedang banyak digunakan oleh teman sebaya. That’s true, but I’m doing that, till this day!!! Gak gaul, kurang gaul atau kalau bahasa lebih halusnya gak mau ngikutin arus, pffft. I still don’t get it.




Aku tak cukup ingat apa media sosial pertama yang aku miliki. Mig33? I dont have a uniq memories about this one, even not at all. Walaupun beberapa teman mengaku pernah asyik menggunakan aplikasi ini. “Jamannya chat sama mantan calon gebetan (mungkin maksudnya kakak kelas yang sempet diem-diem ditaksir),” begitu kata salah satu teman sambil mengenang. Di aplikasi ini kamu bisa menggunakan nama samaran alias nickname. Nickname unyu yg tak dinilai alay pada masanya. Gitu kan ya? *minta pembenaran*

Aku juga gak ingat wujud friendster-ku seperti apa. Kalau yang satu ini aku yakin pernah membuat akun meski tak cukup ingat apakah konsepnya sama seperti mig33, bisa menggunakan nickname? Jika iya, kira-kira apa nama yg aku gunakan saat itu :3  Oh zaman jahiliyah.

Facebook. The most widely used application until now. Gak mungkin remaja hingga orang dewasa jaman sekarang gak punya facebook. Bahkan gak jarang kok aku usil perhatiin orang kalo di warung (abang-abang warung) atau di tempat-tempat jualan lain pada main hape itu buka apa, ya scroll lini masa facebook.

Btw aku udah berhenti main facebook sejak ...
Sejak diputusin mantan dan secara tiba-tiba beliau menghapus akun facebook-nya yang secara otomatis membuat saya dengan penuh kesabaran dan ketekunan menghapus rekam jejak segala unggahan yg dirasa tidak perlu ada. Jadi gak ngerti juga apa yang bikin orang masih seneng dengan media sosial yg satu ini, sebagian besar orang di dunia ini malah. Ya mungkin karena masih banyak orang yang berbagi tulisan atau tautan di facebook. Terakhir ku tau, selain bisa menulis sebuah postingan yg cukup panjang yg bisa dijadikan cerpen, facebook juga mengakomodasi keinginan manusia untuk mengunggah gambar, foto, video dan tautan website. Ohya ada emoticon yg unyu-unyu di facebook, plus ada facebook messanger juga. Honestly, terakhir aktif facebook itu sewaktu masih nge-admin akun organisasi zaman kuliah. Mau gak mau main facebook, tapi ya punya akun organisasi, buka akun pribadi cuman buat repost :3 spamming.

Twitter. Dulu aku gak paham apa kesenangan yg ditawarkan oleh twitter. Inget banget salah seorang teman SMA dengan jumawanya (gak ding!, kata-kataku lebay), ya dengan antusiasnya menginformasikan bahwa beliau punya sebuah akun twitter. Bisa dikatakan beliau pionir di lingkunganku yg tau dan membuat sebuah akun twitter pada waktu itu. Salah satu hal yg paling melekat yg beliau informasikan, alasan beliau ini senang dan bangga punya twitter adalah bisa follow akun artis yg hidup dan tinggal nun jauh di sana serta bisa mengikuti kabar dan aktivitas sang artis tersebut melalui tweetnya. Sungguh sebuah kebahagiaan, pada jaman itu. Hmm sepertinya ini yg jadi awal mula manusia zaman sekarang jadi suka kepo sama hidup orang lain. Karena ada fasilitas untuk show up.
Aku sih gak cukup tertarik, meski tetep aja bikin akun, biar ngerti dikit-dikit dengan apa yg dimaksud teman sebaya.

Seingat aku sih yaa, selama punya facebook, aku gak pernah seaktif orang-orang pada umumnya yg rajin membuat postingan atau membuat notes *salahkan ingatanku jika hal itu tidak benar* Nah, kalau twitter, aku menggunakannya sebagai sebuah sarana untuk “nyampah”, terlebih dalam satu, dua, tiga, empat tahun terakhir. Nyampah dan ngode sih. Biasanya kalau lagi KZL, ya dengan siapa lagi seorang perempuan itu KZL, ngumpat-ngumpat KZLnya di twitter, that’s what I mean nyampah. Aku rasa twitter sejak awal didesain sebagai sarana untuk menumpahkan pemikiran yg sekelebat datang dalam beberapa kata dengan jumlah karakter terbatas.

Apa yg membuatku bertahan dg twitter? Selain sebagai sarana paling enak untuk nyampah, karena lini masanya cepet hilang dan tertindih postingan-postingan lain dari orang-orang yg kita follow, twitter sekarang sudah banyak berfaedah. Warga qismin twitter sudah pada pinter dan suka bikin thread, bisa mengunggah media gambar atau video, dan tentu saja masih banyak media massa yg aktif twitter. Dengan caption yg menarik dan bikin penasaran, kita bisa langsung klik tautan yg akan nyambung ke website media massa yg bersangkutan. That’s the happiest thing of twitter for me. Warga twitter juga gak banyak pamer kayak warga facebook, apalagi instagram. Pamer kepintaran dengan kata-kata mungkin iya. Kan cuma orang cerdas yg bisa merangkum sebuah pemikiran untuk di-deliver ke orang lain dengan jumlah karakter terbatas tapi gak mengurangi esensi pesan yg mau disampaikan. AZEK!!

Nah ini, bagian inti dari tulisan ini. Instagram.
Aku kenal instagram sejak balik KKN kayaknya. Postingan pertamaku aja masih seputar hidup di Natuna. Aku pun mengikuti arus instagram seperti pengguna yg lain. Sebagai sebuah aplikasi yg lebih menonjolkan sisi estetika sebuah postingan berupa foto atau gambar, aku juga pernah kok mengalami masa lagi seneng-senengnya posting. Segala foto apa aja di-posting. Posting foto yg di-grid untuk merangkum satu momen dalam satu foto (untung sekarang bisa posting 10 macam foto dalam satu postingan). Kayaknya salah satu faktor pendorong orang Indonesia punya kecenderungan selfie dan wefie adalah instagram, I guess. Sungguh segala aktifitas, berkegiatan rutin (kuliah-kerja), makanan, hangout, hingga tamasya dan tiap momen dalam hidup lain kayak sidang, wisuda, hari raya, dll didokumentasikan dan ditujukkan (dipamerin) ke khalayak.

Dan aku merasakan puncak kejenuhan main instagram adalah ketika semua orang terdesain untuk ngartis dg adanya fitur ig-stories. “Hi gusy, sekarang gue lagi ada di ...” ini juga yg kupikir jadi salah satu faktor manusia zaman sekarang jadi lebih suka traveling, suka makan atau berkunjung ke tempat yg instagrammable. Kalau kata Rhenald Kasali, esteem economy, ketika orang2 lebih banyak menggunakan uangnya untuk jalan-jalan, mencari dan menikmati momen serta pengalaman baru (dan membagikannya di media sosial sebagai sebuah pengakuan sudah mencapai titik tertentu), bukan lagi kenikmatan memiliki barang.

That’s ok if that’s not to much. Sorry to say, I decided to unfolllow some people I though were annoying on instagram, sorry friends. Orang-orang yg suka posting aktivitasnya dari bangun tidur sampe mau tidur lagi, dari kegiatan sehari-hari sampe keluhan-keluhan hidup atau kode-kodenya. Ya iya sih, padahal pernah juga suka capture obrolan chat dg seseorang kemudian dijadiin stories buat lucu-lucuan, atau capture Joox atau lirik lagu tertentu sembari ngode orang, atau nulis stories dg tulisan kecil-kecil dan dibalik-balik yg bikin orang penasaran. Padahal kalo dipikir lagi, apa pentingnya coba orang-orang tau apa yg kita lakuin sehari-hari atau segala yg kita rasain. Lah itu kan yg namanya eh gunanya sharing, Di. Ya tapi kan yg bermanfaat dikitlah, seenggaknya gak banyak ngeluhnya. Eh padahal bisa jadi di dunia maya itu orang-orang yg sering curhat karena di dunia nyatanya dia gak punya fasilitas lain untuk curhat, dengan kata lain, dia sedang mencari orang yg mau peduli atau berbagi keluh kesah, nyari temen *it's the real me, always think two side*

Ada juga orang-orang yg suka, eh keseringan posting atau stories foto selfie yg keliatan cuma mukanya aja. Pernah baca artikel, justru orang-orang yg sering posting foto selfie terutama wanita, kebanyakan sedang melakukan konfirmasi bahwa dirinya cantik. Orang-orang yg terlalu sering posting foto (kemesraan) dengan pasangannya justru sesungguhnya tidak merasa sedang bahagia dg pasangan. Terlalu sering posting foto dengan pasangan malah sebuah indikasi dia sedang melakukan konfirmasi ke orang-orang sekitarnya, apakah mereka memang baik-baik saja? Ya baik-baik saja, ya kalian relationship goals, begitulah sepertinya ketika semakin banyak orang yg menyukai postingan tersebut.

Aku pun dengan Ryal pernah melewati masa itu. Menemukan sebuah kebahagiaan ketika mengunggah foto di tiap momen berdua. Semakin banyak yang memberikan love atau komentar akan semakin bahagia, “eh banyak juga yg peduli ya”. Dalam satu tahun terakhir, lebih malah, jauh sebelum Ryal memutuskan untuk berhenti main instagram, kami sudah mawas diri. Tidak setiap momen berdua selalu kami posting atau dijadikan stories, lebih menikmati momen, atau lebih banyak menjadikannya koleksi pribadi dan tidak untuk konsumsi publik. Kami percaya bahwa kebahagiaan kami tidak terukur dari banyaknya postingan berdua di instagram, bahagia itu kita sendiri yg rasa, tak perlu afirmasi dari orang lain. That’s why, kami lebih jarang mengunggah foto berdua. Kami baik-baik saja dan mungkin hanya pernah lebay (show off) di awal-awal kami berpacaran :3

Ohya, satu yg aku belum tau karena belum mencapai masa itu. Alasan ibu-ibu zaman sekarang suka posting kegemasan anak bayinya, kegiatan anak-anaknya, berbagi tips dan pengalaman ini itu seputar parenting di media sosial. Mungkin nanti pada masanya aku akan mengerti.

Segala tulisan ini pasti ada yg setuju dan tidak. Seperti pendapat orang pada umumnya, ya balik lagi ke individunya masing-masing. Mau pilih media sosial apa yg ia mau gunakan dan digunakan untuk apakah media sosial tersebut. Bisa jadi mereka yg memang pandai memotret, mengedit datau membuat video suatu saat nanti akan sukses dengan keahlian tersebut dan instagram adalah salah satu media mereka mengembangkan diri.

Kalau aku sih tetep berpendapat gunakanlah instagram ya terutama sebagai sarana yg bermanfaat, misal emang serius hobi traveling ya unggahlah foto-foto jalan-jalan kalian dengan caption info perjalanan atau pengalaman menarik dalam perjalanan tsb, atau yg hobi masak bisa bagi-bagi resep atau video masakan, atau yg jago makeup bisa bikin tutorial, dan sebagainya. Kalau gak suka dengan postingan-postingan orang kan gak usah bete, tinggal unfollow :3 Aku sendiri tadinya sempet kepikiran buat aktif mengunggah foto-foto buku yg sudah kubaca, kalau kata mba Eunike, #SiapaTahuKamuMauBaca , dengan mengurangi kesan pamer serta jumawa, dan tentu saja dengan meningkatkan nilai estetika dalam pengambilan gambar dulu :3 ya ditunggu, coming soon, sembarian bikin semua resensinya di blog ini.

Info tambahan: aku berhenti main path karena banyak ngabisin memori telepon dan berat, gak pernah bikin snapchat, gak menemukan asiknya main askfm, dan gak ngerti apakah tinder bisa dijadikan sebagai rujukan untuk mencari teman yg baik dan benar.
Aktif di LINE, lagi males main WA karena kebanyakan grup spam, dan berhenti main telegram karena gak ada temennya padahal asik lucu-lucu stickernya.
ALLAHU AKBAR! Gak kepikiran mau bikin Tik Tok.
Tik Tok media sosial bukan sih?

Juni 05, 2018

14.48

by , in
Tepat dua tahun yg lalu, (03-050616) aku melakukan sebuah kegiatan yg kemudian sedikit-banyak mengubah hidupku, wkwk :3
Sepanjang tahun 2015 dan awal tahun 2016, bagiku, waktu berjalan cukup lambat, dan hidup terasa melelahkan. Ah, setiap manusia pun akan lelah dan jenuh di titik tertentu pada bagian-bagian hidupnya. Perjalanan hidupku baru sampai titik pergulatan jiwa dan raga sebagai mahasiswa tingkat akhir waktu itu.

Bagi manusia pemalas dan mudah hilang semangat, juga cenderung mudah menyalahkan diri sendiri, mengakhiri semester 8 dengan tanpa hasil menjadi beban batin tersendiri, terlebih kebanyakan teman seangkatan sudah berhasil melewati tes akhirnya sebagai mahasiswa. Mau tak mau harus memaksakan diri sendiri mengakhiri perjalanan sebagai mahasiswa di semester 9. No excuse. Dan terlewati juga lah masa-masa itu.

Officially lulus dan sidang skripsi pertengahan bulan Februari. Selesai mengurus administrasi sampai daftar wisuda tanggal 28 Februari 2016. Hari langka, 4 tahun sekali. Dan karena wisuda di kampusku terbagi dalam beberapa periode dalam setahun -- bisa sampai 6-7 kali setahun -- aku mendapat giliran wisuda di bulan Mei 2016. Pun sampai bulan Mei itu aku tak banyak melakukan usaha untuk memulai mencari kerja :p Rasanya masih ingin liburan dan jalan-jalan.
Hasil sebuah jalan-jalan di dunia maya, aku tertarik dengan sebuah kegiatan ‘jalan-jalan’ yg ditawarkan Yayasan Filantropi Indonesia untuk ikut kegiatan relawan di desa Girijagabaya, Banten. Melalui website indorelawan.org Yayasan ini mempromosikan dan mengajak bagi siapapun yg berminat sehari mengajar dan menginspirasi anak-anak di pelosok Banten sekaligus dapat bonus jalan-jalan ke Baduy Luar.
Jalan-jalan! (ke Baduy)
Ya, itu yg membuatku tertarik untuk ikut kegiatan ini. Alasan receh yg ternyata .... (baca sampai akhir cerita)

Singkat cerita, aku mendaftar, dihubungi pihak panitia, beberapa kali berkoordinasi untuk kegiatan di sana melalui grup WA, dan here we go ... mari berangkat ke Banten!


--


Kegiatan ini berlangsung dari hari Jumat sampai Minggu, 3-5 Juni 2016. Hari Jumat pun sebenarnya waktunya kami melakukan perjalanan ke tempat tujuan, hari Sabtunya ‘aksi’, dan hari Minggu jalan-jalan!
Kami para peserta atau relawan Inspiration Action Day (IAD) berkumpul di stasiun Pondok Ranji pukul 13.00. Aku berangkat jam 10-an dari Dramaga, dan seperti biasaaa, macet. Kupikir akan telat, eh ternyata panitianya pun telat ^^v

Sewaktu aku sampai di stasiun Pondok Ranji, yes, for the first time di stasiun Pondok Ranji. Deg-degan juga sih, karena aku inisiatif ikut sendiri, gak ngajak-ngajak temen, dan malah akan ketemu temen-temen baru.
Gak susah nyari mereka, kebanyakan sudah lebih dulu sampai di stasiun, otomatis sudah bergerombol di satu titik. Gak deng! Dua titik, kami berhijab -- apasih bahasa anak kampusku -- terpisah antara laki-laki dan perempuan. Yg kucari pertama kali rekan-rekan satu kelompokku nanti, Kak Inoey, Iman, dan Monic. Pasti kak Tito ada lah diantara gerombolan laki-laki itu, nanti juga akan tau.

Setelah berkenalan satu sama lain, takjub juga, ternyata yg ikut kegiatan ini sungguh variatif, dari anak yg baru kemaren lulus SMA, mahasiswa tingkat piyik-piyik, mahasiswa tingkat akhir, fresh graduate alias pengangguran (aku), mahasiswa S2 dan pekerja. Eh, dan ternyata ada kakak S2 yg sama-sama dari Dramaga, Kak Mery, senangnya nemu temen pulang bareng.

Aku gak begitu paham waktu itu kenapa jadwal keberangkatan kami (agak) molor. Baru-baru setelah acara ini selesai aku tau kalau ternyata beberapa panitia berangkat lebih dulu ke Girijagabaya menggunakan mobil, sedangkan kami, para peserta, naik kereta tujuan Rangkas. Ada salah seorang panitia yg waktu itu bertugas mengoordinasi kami, Anam, dan dia di hari yg sama, pagi hingga siang ada kegiatan dulu, kemudian telat-lah dia datang ke stasiun Pondok Ranji dari waktu yg seharusnya.

*cerita mengenai Anam dan keterlambatannya akan muncul di kisah lain dalam blog ini*

Anam mengajak kami berkumpul, bersiap naik kereta, melakukan perkenalan dan briefing singkat. Let’s go!

Honestly, *muka merah*
Kesan pertama terhadap Anam membuatku berpikir, “Kayaknya, nih orang gak jauh beda umurnya dari aku, hebat juga udah bisa aktif di kegiatan yg cakupannya bahkan di luar kampus. Aku aja gini-gini cuman bisa main di kampus doang, paling banter, ILMAGI, itupun masih berurusan sama orang-orang yg satu golongan aja. Lah dia, sudah bisa ‘berakasi’ lebih. Hmm, harus bisa ngobrol sama orang ini.”
*my eyes on you*

Jug-ijag-ijug-ijag-ijug kereta api Rangkas Merak membawa kami mulai bertualang.
Kereta Api Rangkas Merak yg kami tunggangi kala itu merupakan kereta api ekonomi, yg tempat duduknya suka-suka, bangkunya 4-4 di sisi kanan dan kiri lorong, alias 2-2 saling berhadapan. Bangkunya keras, senderannya hanya mencapai setengah punggung. Dan karena tempat duduknya suka-suka, kami (aku, kak Inoey dan Iman) sempet bolak balik nyari gerbong yg lowong.

Kata seorang penumpang, “(ke gerbong) belakang, masih banyak yg kosong.”

Kami pun jalan ke gerbong belakang, mencari tempat duduk yg bisa untuk bertiga. Oh ya, Iman itu perempuan. Awalnya aku pun bingung apakah dia laki-laki atau perempuan, hmm, dan aku lupa siapa nama panjangnya. Sedangkan Monic, yg waktu itu ikut bersama teman-teman satu jurusannya, duduk berpisah dg kami bertiga. Actually, aku juga gak begitu ngeh, karena pas kereta datang, ya udah asal masuk aja, urusan pada jalan ke kanan atau ke kiri, toh kita masih dalam satu rangkaian kereta.

Sepanjang perjalanan satu setengah jam, atau dua jam itu, I don’t remember, kak Inoey dan Iman banyak bercerita dan bergurau, typically-Sanguin, aku hanya menimpali sesekali meski dengan asyik mendengarkan mereka. Kak Inoey sudah bekerja dan Iman mahasiswa UI tingkat akhir.

Di gerbong yg sama, ada rombongan kami yg lain, sepertinya Visya dan Rita seingatku, atau mungkin ada yg lain, aku tak begitu ingat. Juga ada Hanafi yg terlihat mencoba mengajak ngobrol dan berkenalan dengan kelompok Visya itu. Ternyata dia (Hanafi) berkeliling, Bro! Dan sampailah dia berpindah ke kelompokku.

Tadinya kami duduk bertiga plus seorang Bapak-bapak. Tapi di suatu stasiun Bapak itu pindah tempat duduk dan entah hilang setelah turun di stasiun mana. Nah, ketika kursi si Bapak di depan kak Inoey itu kosong, duduklah Hanafi bersama kami, mengajak berkenalan.
Posisinya: Kak Inoey duduk di dekat jendela, aku di sampingnya (dekat lorong), Iman berhadapan denganku.
Blablabla, cerita-cerita yg lalu~


--


Di sebuah stasiun, Kereta Api Rangkas Merak berhenti agak lama, mungkin ada 5-10 menit. Penumpang di gerbong kami pun lama-lama menipis, sudah turun di stasiun tujuannya masing-masing. Saat kereta kembali berangkat, dua orang laki-laki dari rombongan kami duduk di bangku seberangku. Dua orang laki-laki, yg sedari tadi di Pondok Ranji terlihat selalu berdua, Anam dan Aal. Kupikir Aal ini salah satu dari panitia juga karena dia tampak ikut membeli tiket bersama Anam di Pondok Ranji tadi. Ya, pokoknya mereka selalu berdua, jadi kusimpulkan dia adalah bagian dari panitia.

Aku tak begitu ingat awal mula pembicaraan itu, yg kutangkap dan ingat, saat itu adalah sebuah kenyataan bahwa sangkaanku benar, guys, Anam waktu itu masih berstatus mahasiswa tingkat akhir.
Kenyataan kedua: mereka suka atau mungkin (hanya) pernah NAIK GUNUNG :3

“Oh, suka naik gunung juga?” tanyaku.
You got my attention, boys.
Seneng gitu kan kalo nemu orang yg punya minat yg sama.
*muncul love love di mata* *senyumnya langsung lebar*


Kami tiba di stasiun Rangkas menjelang maghrib. Di sana sudah menunggu dua buah angkot yg siap membawa kami ke desa Girijagabaya. Jenis angkot yg gak pernah aku temui dari zaman aku naik angkot kelas 2 SD sampe angkot di Dramaga. Ukurannya tanggung, gak sekecil angkot Dramaga, gak sebesar angkot jurusan Pekalongan-Limpung. Mungkin muat untuk 15-18 orang dengan posisi duduk normal (ke depan), bukan hadap-hadapan kayak angkot Dramaga. Ya ada sih satu dua kursi yg menghadap ke samping.

Sebelum ke Girijagabaya, kami istrirahat makan dan sholat dulu di alun-alun Rangkas. Kami ketambahan anggota baru, Dini, relawan yg berdomisili di Rangkas. Usai istirahat, kami bergegas melanjutkan perjalanan ke Rangkas. Lagi, aku, Kak Inoey dan Iman jadi satu paket, memilih satu angkot yg sama. Aku duduk di deretan kursi paling belakang yang muat untuk 4 orang. Kak Tito juga satu angkot denganku, dia duduk di kursi depan. Ah ya, kak Tito lebih tua dariku dan dia sudah bekerja di salah satu perusahaan berkantor di Jakarta.

Siapa lagi yg satu angkot denganku? Hanafi, Anam dan Aal. Ha-ha-ha
Awalnya angkot kami riuh, dengan musik yg di-stel menggunakan handphone. Lama-lama hening, angkot kami meninggalkan Rangkas, masuk ke pedalaman Banten, menembus malam.
Sekian jam perjalanan. Gak kerasa karena aku memaksakan diri untuk tidur. Tak memperhatikan jalan juga karena lama-kelamaan pandangku tertutup gelap tak ada pencahayaan.

Menjelang pukul 10 malam kami sampai di rumah Kepala Sekolah tempat kami berkegiatan besok. Kami istirahat sebentar di sana, sebelum kami para perempuan berpindah ke rumah yg lain untuk istirahat (tidur). Para lelaki tinggal di rumah ini.

Panitia meminta para ketua kelompok untuk berkumpul dulu di rumah Kepala Sekolah, berbagi perlengkapan yg akan kami gunakan esok hari. Tinggallah aku sejenak di situ.
Nothing special si, kecuali mungkin bagi orang lain.

Pergi ke rumah (camp) khusus perempuan, aku malah tak bisa tidur meski sudah pukul 12 malam. Kuputuskan untuk tidur-tiduran saja sambil menunggu subuh, dan bergiliran untuk mandi. Siap-siap beraksi!


--

to be continued, nulisnya nyicil ^^v
Mei 17, 2018

Puasa & Kangen

by , in



Setelah membaca ulang tulisan cak Rusdi tiga tahun silam, cerita tentang Cak Dlahom berjudul “Benarkah Kamu Merindukan Ramadan”, membuatku menjadi rindu kepadanya.
Honestly, I’m not talking about “Ramadan” itself, tapi momen di bulan Ramadan yg aku alami yg terjadi beberapa tahun lalu. Let’s see what it is.




  
Bagi umat muslim, bulan Ramadan, yg notabene hanya terjadi satu kali dalam setahun, yg dikatakan sebagai bulan penuh berkah, bulan istimewa untuk ‘mengeruk’ pahala, atau paling minimal ada sebuah kondisi yg dibuat untuk membentuk diri kita lebih peka pada mereka yg terbiasa dg kelaparan, atau kondisi yg dibuat untuk sekali lagi kita disuruh belajar menahan hawa nafsu. That’s why it’s so substantial. But really, I don’t wanna talk about it.
Selain karena level spiritualku yg masih begitu-begitu aja, biarlah romantisasi dg Ramadan ini jadi rahasia masing-masing.


Salah seorang teman bercerita tentang ritual yg baru-baru ini dia lakukan dalam rangka menyambut bulan puasa. Bersih-bersih rumah level siaga 1. Perasaan dulu aku bersih-bersih rumah yg pake tenaga ekstra ya kalo mau lebaran aja, ini malah sudah dimulai dari menyambut bulan puasa. Hehehe, sebuah kebiasaan keluarga yg baik sih 😊

Hal-hal yg semacam itu mungkin yg dirindukan sebagian besar orang. Momen-momen yg cuma terjadi di bulan puasa. Momen makan sahur sambil nahan ngantuk, tahan nafas tiap liat iklan sirup di tv di siang atau sore hari, lebih sering liatin jam menjelang maghrib, jalan-jalan abis sholat subuh, dengerin kultum entah abis sholat subuh atau pas tarawih, ngabuburit nyari tukang es dan gorengan di pinggir jalan, acara bukber-bukberan, dan lain lain dan lain lain.
Atau mungkin kalau buat para cowok kangen main perang sarung abis sholat di masjid. Apa ada yg kangen main petasan? Huuu that’s annoying.
Tapi bukan hal-hal itu yg aku kangenin :”


Terus apa dong?
Prolog: kangen itu buat sesuatu yg jarang terjadi, tapi pingin diulang lagi kalau ada kesempatan.
Jadi kangennya Didi itu: kangen puasa di Serasan. HAHAHA
Ya karena mungkin itu cuma terjadi sekali dalam hidup, makanya sekarang jadi tiba-tiba kangen.
Apa yg bikin kangen?
Kangen aja puasa di lingkungan yg bener-bener baru dan jauh (literally) dari habitat asli. Menghabiskan bulan puasa dan bahkan lebaran tinggal di pinggir laut, nungguin makcik dan pak’him pulang dari kebon seminggu sekali bawa sekeranjang durian buat pesta seminggu ke depan, kangen makcik si penyelamat ketahanan pangan kami, kangen malam tanpa listrik, kangen masakan maklung, kangen maklung yg udah nganggep kita kayak anak-anak sendiri, kangen rayuan nenek buat mampir dan makan ronde kedua setelah selesai tarawih, kangen rebutan gorengan pas buka puasa (aku gak inget apa namanya, semacam bakwan tapi berbentuk bulat, yg tiap malem kita suka harap-harap cemas sama sambel yg kadang enak kadang enggak), juga kangen kegabutan karena gak ada listrik sepanjang hari, diem aja merenung di belakang rumah makcik sambil liatin air laut atau dengerin anak cowok main gitar.
Kangen aja bulan puasa di Serasan bersama mereka.

Tadi pagi sempet liat tweet seseorang. Mengabarkan pagi-pagi udah kebangun denger suara toa masjid nyuruh sahur, dan betapa tolerannya masyarakat non muslim sejauh ini dengan hal itu. That’s a good thing. Isu toleransi (beragama) akhir-akhir ini juga kembali menguat setelah terjadinya pengeboman di Surabaya dan Sidoarjo. Kita hidup di Indonesia dengan keberagaman, sudah sepatutnya bisa hidup damai dan berdampingan tanpa saling berdebat tentang perbedaan.
Aku juga dulu punya temen non muslim sewaktu SMA. Temen satu kos. Dia pun ikut pergi beli makan sahur tiap pagi di bulan Ramadan dan dia baik-baik aja dengan itu, bahkan terakhir kali chat di grup dia sendiri yg bilang kangen masa-masa itu, rasanya baru kemarin yaa bareng-bareng beli makan sahur, sekarang dia sudah mendahului kami berumah tangga dan sedang hamil anak pertama 😊 ternyata kami sudah tak remaja lagi.


--


Kembali lagi dengan tagline ‘Ramadan, bulan penuh berkah’.
Sepertinya (dan semoga) puasa tahun ini akan jadi sesuatu yg baik bagiku pribadi. Mungkin karena masih semangat hari pertama kali yaa, masih semangat bangun lebih awal. Tiba-tiba aku menyadari, jika saja hidupku mengikuti siklus hidup orang muslim di bulan puasa, bisa jadi semuanya akan lebih baik dan menyenangkan.
Yaa gimana sih, biasanya begadang, tidur sesukanya, kadang baru tidur abis subuh, bangun siang; dan rasa-rasanya kalo mau ikutin ritme hidup bulan puasa, segala sesuatunya jadi fresh baik badan dan pikiran, lebih teratur aja. Kapan waktu bangun, beraktivitas, dan beristirahat.
Semoga aja jadi awal yg baik. Aku kan suka angot-angotan. Hmm, tapi bulan puasa tahun ini sepertinya lebih bersemangat dari dua kali bulan puasaku di ibu kota yg terakhir. Boro-boro sahur, bangun aja males. Ya gitu lah kalo sendiri :p suka suka diri sendiri.

Another good thing, semacam berkah menyambut bulan Ramadan tahun ini.
Setelah drama percintaan yg aku alami sama Ryal, wkwkwk, kemudian kemarin muncullah sebuah momen yg membuatku sadar akan satu hal, eh dua hal. Segala sesuatu memiliki timing-nya sendiri-sendiri dan akan muncul di saat yg PAS. Buatku dan buat Ryal sih. Akhirnya dia merasakan (menyadari) sesuatu, aku pun menyadari sesuatu. Kedua, everything I need from a partner is him, sejauh yg aku rasa dan alami, dia adalah sahabat untuk bercerita terbaik dan ternyaman yg aku miliki. Kiiiw~~
Hahaha, tiap orang punya definisi pasangan terbaiknya sendiri-sendiri. Kalau menurutku sih begitu, bahkan bisa jadi deskripsi Ryal tentang pasangan pun gak sama dg yg aku pikir. Whatever it is, I hope you get what you need.


--


Jadi apa yg dikangenin dari bulan puasa?
Sepertinya aku sudah mulai kangen menu buka puasa andalan ibu di rumah: tempe goreng, sayur bening, sambel tomat dan lalapan timun yg dimakan pake nasi yg masih anget. Nanti yaah di akhir bulan puasa 😊
Mei 04, 2018

Piknik

by , in



Aku punya lingkar pertemanan yg ‘unik’. Sesungguhnya tak bisa dikatakan deket banget-banget-banget-banget tapi kami mencoba ADA untuk satu sama lain. Awal kami jadi sering kumpul juga terjadi begitu saja. Menemani saat-saat sulit untuk saling menguatkan. Pun sebenernya aku hanya pemain tambahan yg tiba-tiba muncul. Mereka yg lebih dulu kenal dalam 6 tahun terakhir, lalu datanglah aku yg jadi ngintil kemana-mana, he-he-he.

Selepas (mereka) lulus kuliah, kami jadi jarang kumpul. Selain karena rumah dan tempat kerja kami jauh satu sama lain, kadang jadwal libur-lembur kerja juga jadi penghalang. Tapi kalau tiba-tiba ada yg kangen dan mengajak untuk kumpul, kami akan berseru “Ayo!” -- kalau waktunya pas.

Diam-diam kami saling menyanyangi. Mencoba membuat momen spesial jika ada salah satu dari kami yg sedang berulangtahun. Bulan Januari lalu, ada dua diantara kami yg merayakannya. Skenarionya main ke bumi perkemahan Cibubur. Piknik membawa bekal dan menggelar tikar di pinggir danau. Padahal sudah ada yg menyiapkan kue ulang tahun, gak deng! Donat yg dipasangin lilin.

Kami ber-ide untuk main ke sebuah taman. Sesekali main liat yg hijau-hijau tapi yg deket-deket aja, gitu katanya. Berbekal nasi masak sendiri, lauk beli di warteg dan CEKER AYAM CABE MERAH buatan Eboy, kami siap PIKNIK lagi. Tentunya dengan tikar hitam dipenuhi gambar strawbery pink yg selalu setia menemani jalan-jalan sederhana kami.

Awalnya malu-malu gitu mau gelar tikar karena kebanyakan orang ya duduk duduk santai aja di bangku atau lesehan. Hmm, kebanyakan orang berdua-dua-an sih. Setelah menemukan spot yg nyaman dan lega, kami menggelar perbekalan kami. Guess who was the most impatient to eat right away? Ya siapa lagi kalau bukan kekasihku tercinta :”

siap melahap ceker cabe merah

“Kita hobi amat deh, piknik,” kataku yg mungkin hanya terdengar oleh Ryal di dekatku.

“Heemmpp, boleh nih dijadiin budaya kalau kumpul. Nyari taman ijo-ijo, gelar tiker deh,” timpalnya.


--


Cerita ini mengingatkanku pada kisah Genta, Arial and the gengs!
I advise you to read the book rather than watch the film!
Di buku 5cm, pertemanan 5 orang sejak SMA hingga masing-masing kerja pun tetap bisa bertahan selama lebih dari 10 tahun. Ditambah si adik Arial, Dinda, persahabatan mereka malah langgeng sampai mereka menikah dan punya anak.

Acara kumpul-kumpul mereka sewaktu muda pun sederhana saja: makan di warung kopi langganan, memesan mie rebus dan roti bakar favorit masing-masing yg sudah dihafal di luar kepala oleh Riani.

Cita-cita mereka sederhana, tetap bersahabat, sampai anak-anak mereka saling bersahabat. Mengagendakan kumpul rutin di taman rumah sederhana di tengah kesibukan masing-masing.

Adegan anak-anak Arial, Zafran dan Ian mengerek bendera merah-putih di taman rumah sayangnya tak dimunculkan di film. Padahal itu yg membuatku terharu dan bergetar saat membaca bukunya. Jadi pingin punya persahabatan yg selanggeng itu. Adegan itu tidak ada karena plot akhir cerita di film sedikit diubah dari bukunya, juga ada tokoh yg tak dimunculkan.


Jadi, apakah kami bisa bersahabat hingga membuat anak-anak kami pun jadi sahabat?
Who knows?
We can only try to live this life as best as we can.


Salam sayang dari kami <3


--


Ohya, waktu main di Taman Wiladatika, sedang ada pertunjukan lampion. Bagi pengunjung yg mau melihat lampion dikenai biaya Rp.20.000. Kalau tak ingin menonton, kami dipersilahkan meninggalkan area taman pukul 16.30.

Kemudian ada yg nyletuk, “Kapitalis amat !!!”

Guess who said that? 😊



coba tebak siapa yg ulangtahun? 
 di pinggir danau
versi komplit
foto ala-ala di Taman Wiladatika