Sepanjang
tahun 2015 dan awal tahun 2016, bagiku, waktu berjalan cukup lambat, dan hidup
terasa melelahkan. Ah, setiap manusia pun akan lelah dan jenuh di titik
tertentu pada bagian-bagian hidupnya. Perjalanan hidupku baru sampai titik
pergulatan jiwa dan raga sebagai mahasiswa tingkat akhir waktu itu.
Bagi
manusia pemalas dan mudah hilang semangat, juga cenderung mudah menyalahkan
diri sendiri, mengakhiri semester 8 dengan tanpa hasil menjadi beban batin
tersendiri, terlebih kebanyakan teman seangkatan sudah berhasil melewati tes
akhirnya sebagai mahasiswa. Mau tak mau harus memaksakan diri sendiri
mengakhiri perjalanan sebagai mahasiswa di semester 9. No excuse. Dan terlewati juga lah masa-masa itu.
Officially lulus dan sidang skripsi pertengahan bulan
Februari. Selesai mengurus administrasi sampai daftar wisuda tanggal 28
Februari 2016. Hari langka, 4 tahun sekali. Dan karena wisuda di kampusku
terbagi dalam beberapa periode dalam setahun -- bisa sampai 6-7 kali setahun -- aku
mendapat giliran wisuda di bulan Mei 2016. Pun sampai bulan Mei itu aku tak
banyak melakukan usaha untuk memulai mencari kerja :p Rasanya masih ingin
liburan dan jalan-jalan.
Hasil
sebuah jalan-jalan di dunia maya, aku tertarik dengan sebuah kegiatan
‘jalan-jalan’ yg ditawarkan Yayasan Filantropi Indonesia untuk ikut kegiatan
relawan di desa Girijagabaya, Banten. Melalui website indorelawan.org Yayasan
ini mempromosikan dan mengajak bagi siapapun yg berminat sehari mengajar dan
menginspirasi anak-anak di pelosok Banten sekaligus dapat bonus jalan-jalan ke
Baduy Luar.
Jalan-jalan!
(ke Baduy)
Ya, itu
yg membuatku tertarik untuk ikut kegiatan ini. Alasan receh yg ternyata ....
(baca sampai akhir cerita)
Singkat
cerita, aku mendaftar, dihubungi pihak panitia, beberapa kali berkoordinasi
untuk kegiatan di sana melalui grup WA, dan here
we go ... mari berangkat ke Banten!
--
Kegiatan
ini berlangsung dari hari Jumat sampai Minggu, 3-5 Juni 2016. Hari Jumat pun sebenarnya
waktunya kami melakukan perjalanan ke tempat tujuan, hari Sabtunya ‘aksi’, dan
hari Minggu jalan-jalan!
Kami
para peserta atau relawan Inspiration Action Day (IAD) berkumpul di stasiun
Pondok Ranji pukul 13.00. Aku berangkat jam 10-an dari Dramaga, dan seperti
biasaaa, macet. Kupikir akan telat, eh ternyata panitianya pun telat ^^v
Sewaktu
aku sampai di stasiun Pondok Ranji, yes,
for the first time di stasiun Pondok
Ranji. Deg-degan juga sih, karena aku inisiatif ikut sendiri, gak ngajak-ngajak
temen, dan malah akan ketemu temen-temen baru.
Gak
susah nyari mereka, kebanyakan sudah lebih dulu sampai di stasiun, otomatis
sudah bergerombol di satu titik. Gak deng! Dua titik, kami berhijab -- apasih
bahasa anak kampusku -- terpisah antara laki-laki dan perempuan. Yg kucari
pertama kali rekan-rekan satu kelompokku nanti, Kak Inoey, Iman, dan Monic.
Pasti kak Tito ada lah diantara gerombolan laki-laki itu, nanti juga akan tau.
Setelah
berkenalan satu sama lain, takjub juga, ternyata yg ikut kegiatan ini sungguh
variatif, dari anak yg baru kemaren lulus SMA, mahasiswa tingkat piyik-piyik,
mahasiswa tingkat akhir, fresh graduate
alias pengangguran (aku), mahasiswa S2 dan pekerja. Eh, dan ternyata ada kakak
S2 yg sama-sama dari Dramaga, Kak Mery, senangnya nemu temen pulang bareng.
Aku gak
begitu paham waktu itu kenapa jadwal keberangkatan kami (agak) molor. Baru-baru
setelah acara ini selesai aku tau kalau ternyata beberapa panitia berangkat
lebih dulu ke Girijagabaya menggunakan mobil, sedangkan kami, para peserta,
naik kereta tujuan Rangkas. Ada salah seorang panitia yg waktu itu bertugas mengoordinasi
kami, Anam, dan dia di hari yg sama, pagi hingga siang ada kegiatan dulu,
kemudian telat-lah dia datang ke stasiun Pondok Ranji dari waktu yg seharusnya.
*cerita mengenai Anam dan keterlambatannya
akan muncul di kisah lain dalam blog ini*
Anam mengajak kami berkumpul, bersiap naik kereta, melakukan
perkenalan dan briefing singkat. Let’s go!
Honestly, *muka
merah*
Kesan
pertama terhadap Anam membuatku berpikir, “Kayaknya, nih orang gak jauh beda
umurnya dari aku, hebat juga udah bisa aktif di kegiatan yg cakupannya bahkan
di luar kampus. Aku aja gini-gini cuman bisa main di kampus doang, paling
banter, ILMAGI, itupun masih berurusan sama orang-orang yg satu golongan aja.
Lah dia, sudah bisa ‘berakasi’ lebih. Hmm, harus bisa ngobrol sama orang ini.”
*my eyes on you*
Jug-ijag-ijug-ijag-ijug kereta api Rangkas Merak membawa kami
mulai bertualang.
Kereta
Api Rangkas Merak yg kami tunggangi kala itu merupakan kereta api ekonomi, yg
tempat duduknya suka-suka, bangkunya 4-4 di sisi kanan dan kiri lorong, alias
2-2 saling berhadapan. Bangkunya keras, senderannya hanya mencapai setengah
punggung. Dan karena tempat duduknya suka-suka, kami (aku, kak Inoey dan Iman)
sempet bolak balik nyari gerbong yg lowong.
Kata
seorang penumpang, “(ke gerbong) belakang, masih banyak yg kosong.”
Kami pun
jalan ke gerbong belakang, mencari tempat duduk yg bisa untuk bertiga. Oh ya,
Iman itu perempuan. Awalnya aku pun bingung apakah dia laki-laki atau
perempuan, hmm, dan aku lupa siapa nama panjangnya. Sedangkan Monic, yg waktu
itu ikut bersama teman-teman satu jurusannya, duduk berpisah dg kami bertiga. Actually, aku juga gak begitu ngeh, karena pas kereta datang, ya udah
asal masuk aja, urusan pada jalan ke kanan atau ke kiri, toh kita masih dalam
satu rangkaian kereta.
Sepanjang
perjalanan satu setengah jam, atau dua jam itu, I don’t remember, kak Inoey dan Iman banyak bercerita dan bergurau,
typically-Sanguin, aku hanya
menimpali sesekali meski dengan asyik mendengarkan mereka. Kak Inoey sudah
bekerja dan Iman mahasiswa UI tingkat akhir.
Di
gerbong yg sama, ada rombongan kami yg lain, sepertinya Visya dan Rita
seingatku, atau mungkin ada yg lain, aku tak begitu ingat. Juga ada Hanafi yg
terlihat mencoba mengajak ngobrol dan berkenalan dengan kelompok Visya itu.
Ternyata dia (Hanafi) berkeliling, Bro! Dan sampailah dia berpindah ke kelompokku.
Tadinya
kami duduk bertiga plus seorang Bapak-bapak. Tapi di suatu stasiun Bapak itu
pindah tempat duduk dan entah hilang setelah turun di stasiun mana. Nah, ketika
kursi si Bapak di depan kak Inoey itu kosong, duduklah Hanafi bersama kami,
mengajak berkenalan.
Posisinya:
Kak Inoey duduk di dekat jendela, aku di sampingnya (dekat lorong), Iman
berhadapan denganku.
Blablabla,
cerita-cerita yg lalu~
--
Di
sebuah stasiun, Kereta Api Rangkas Merak berhenti agak lama, mungkin ada 5-10
menit. Penumpang di gerbong kami pun lama-lama menipis, sudah turun di stasiun
tujuannya masing-masing. Saat kereta kembali berangkat, dua orang laki-laki
dari rombongan kami duduk di bangku seberangku. Dua orang laki-laki, yg sedari
tadi di Pondok Ranji terlihat selalu berdua, Anam dan Aal. Kupikir Aal ini
salah satu dari panitia juga karena dia tampak ikut membeli tiket bersama Anam
di Pondok Ranji tadi. Ya, pokoknya mereka selalu berdua, jadi kusimpulkan dia adalah
bagian dari panitia.
Aku tak
begitu ingat awal mula pembicaraan itu, yg kutangkap dan ingat, saat itu adalah
sebuah kenyataan bahwa sangkaanku benar, guys,
Anam waktu itu masih berstatus mahasiswa tingkat akhir.
Kenyataan
kedua: mereka suka atau mungkin (hanya) pernah NAIK GUNUNG :3
“Oh,
suka naik gunung juga?” tanyaku.
You got my attention, boys.
Seneng
gitu kan kalo nemu orang yg punya minat yg sama.
*muncul love love di mata* *senyumnya
langsung lebar*
Kami
tiba di stasiun Rangkas menjelang maghrib. Di sana sudah menunggu dua buah
angkot yg siap membawa kami ke desa Girijagabaya. Jenis angkot yg gak pernah
aku temui dari zaman aku naik angkot kelas 2 SD sampe angkot di Dramaga.
Ukurannya tanggung, gak sekecil angkot Dramaga, gak sebesar angkot jurusan
Pekalongan-Limpung. Mungkin muat untuk 15-18 orang dengan posisi duduk normal
(ke depan), bukan hadap-hadapan kayak angkot Dramaga. Ya ada sih satu dua kursi
yg menghadap ke samping.
Sebelum ke
Girijagabaya, kami istrirahat makan dan sholat dulu di alun-alun Rangkas. Kami
ketambahan anggota baru, Dini, relawan yg berdomisili di Rangkas. Usai istirahat,
kami bergegas melanjutkan perjalanan ke Rangkas. Lagi, aku, Kak Inoey dan Iman
jadi satu paket, memilih satu angkot yg sama. Aku duduk di deretan kursi paling
belakang yang muat untuk 4 orang. Kak Tito juga satu angkot denganku, dia duduk
di kursi depan. Ah ya, kak Tito lebih tua dariku dan dia sudah bekerja di salah
satu perusahaan berkantor di Jakarta.
Siapa
lagi yg satu angkot denganku? Hanafi, Anam dan Aal. Ha-ha-ha
Awalnya
angkot kami riuh, dengan musik yg di-stel menggunakan handphone. Lama-lama hening, angkot kami meninggalkan Rangkas,
masuk ke pedalaman Banten, menembus malam.
Sekian
jam perjalanan. Gak kerasa karena aku memaksakan diri untuk tidur. Tak
memperhatikan jalan juga karena lama-kelamaan pandangku tertutup gelap tak ada
pencahayaan.
Menjelang
pukul 10 malam kami sampai di rumah Kepala Sekolah tempat kami berkegiatan
besok. Kami istirahat sebentar di sana, sebelum kami para perempuan berpindah
ke rumah yg lain untuk istirahat (tidur). Para lelaki tinggal di rumah ini.
Panitia
meminta para ketua kelompok untuk berkumpul dulu di rumah Kepala Sekolah,
berbagi perlengkapan yg akan kami gunakan esok hari. Tinggallah aku
sejenak di situ.
Nothing special si, kecuali mungkin bagi orang lain.
Pergi ke
rumah (camp) khusus perempuan, aku malah
tak bisa tidur meski sudah pukul 12 malam. Kuputuskan untuk tidur-tiduran saja
sambil menunggu subuh, dan bergiliran untuk mandi. Siap-siap beraksi!
--
to be continued, nulisnya nyicil ^^v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar